<$BlogRSDUrl$>

2004/02/26

DAFTAR ISI 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

Bab I : RELIGIOSITAS

1. Bakat Religius Anak Minta Dipandu
2. Manusia Agamawan dan Manusia Religius
3. Mengapa Sikap Religius Harus Kita Perhatikan?
4. Cita Rasa Religius Mencari Kualitas

Bab II : TANAH-TUMBUH SIKAP RELIGIUS

1. Anak yang Merasa Dihargai
2. Kemampuan Bertanggung Jawab Atas Hal-hal Sehari-hari
3. Kemampuan untuk Kagum dan Bertanya
4. Pembudayaan Budi Hati

Bab III : SUASANA KEPERCAYAAN DALAM DIALOG

1. Hubungan Dialog Jangan Sampai Putus
2. Dialog Penghayatan Bersama dan Dialog Kata
3. Dialog Melalui Imajinasi Dunia Indah

Bab IV : MEMBINA PENCITRAAN TUHAN YANG BENAR

1. Tuhan Bukan Mandor Pencari Kesalahan
2. Tuhan Bukan Maharaja Sewenang-wenang
3. Tuhan Bukan Pedagang Serakah
4. Tuhan Bukan Pemimpin Partai atau Golongan
5. Tuhan Bukan Tukang Sulap Agung
6. Citra Anak tentang Tuhan Datang dari Orang yang la Percayai
7. Memurnikan Citra Tuhan

Bab V : PEMANDUAN HATI NURANI ANAK

1. Memandu dalam Iman
2. Anak Kuat Karena Gembira
3. Anak Belajar Mengolah Kepribadiannya
4. Anak Belajar Membentuk Hati Nuraninya
5. Anak Belajar Melihat Tidak Hitam-Putih

Bab VI : KSATRIA DI HADAPAN TUHAN DAN MANUSIA

1. Anak Belajar Bertanggung jawab
2. Pendidikan Tanpa Kekerasan
3. Anak Belajar Bersikap Pejuang
4. Doa Anak yang Terpandu Sikap Religius

Bab VII : ANAK MILIK TUHAN

Kepedihan Setiap Pendidik Religiositas


KATA PENGANTAR  


KATA PENGANTAR
Kiai Haji Abdurrahman Wahid

SEORANG awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya di manakah Tuhan berada. Nabi menjawab dengan pertanyaan, di manakah Tuhan menurut orang itu? Penanya tersebut lalu menjawab bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi lalu membenarkan ucapannya itu. Para sahabat Nabi lalu mempersoalkan hal itu, sepeninggal orang tersebut. Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Ia berada di mana saja, karena Ia tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk? Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.

Riwayat tersebut menggambarkan betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Keserba-agungan Tuhan dan kemaha-mahaan lainnya yang dimiliki-Nya, tak dapat dijelaskan secara tepat kepada manusia. Sebabnya mudah saja: keterbatasan kemampuan manusia untuk menangkap kebesaran Tuhan. Kebesaran-Nya yang demikian mutlak, meniadakan kemampuan untuk hanya menetapkan satu cara saja untuk memahami-Nya. Dengan kata lain, pemahaman akan hakikat Tuhan mau tidak mau lalu mengambil bentuk berbeda-beda, dan dengan sendirinya pemahaman itu sendiri lalu berderajat. Tidak sama tingkat pemahaman Tuhan dari manusia ke manusia lainnya. Ada yang memahami-Nya demikian sederhana, seolah-olah Tuhan adalah sesuatu yang tidak kompleks sama sekali. Tuhan yang demikian adalah Tuhan yang dipahami secara sesisi: Maha Pemarah, Maha Penghukum, Maha Pembalas, dan seterusnya. Kepada manusia Ia adalah wajah kekuasaan yang mengerikan dan menakutkan, selalu siap dengan hukuman dan siksaan-Nya. Ia langsung menghukum setiap kesalahan, kelalaian, dan kealpaan, bahkan sering kali hukuman-Nya sudah dijatuhkan sebelum kematian manusia dan ketika dunia belum kiamat. Penyakit menular dari sampar sampai cacar, bencana alam dari gempa bumi sampai banjir dan gunung meletus dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain dijadikan contoh dari hukuman Tuhan itu.

Tuhan yang sesisi itulah yang paling banyak mencengkam benak manusia, dari masa ke masa dan dari agama ke agama. Hubungan Tuhan dan manusia dalam pemahaman seperti itu sangat bersifat mekanistik. Kau berjasa kepada Tuhan, kau akan diganjar dengan pahala. Sesuai dengan bagianmu, akan kau peroleh salah satu dari deretan sekian banyak imbalan, mulai dari kolam susu sampai bidadari ayu. Sebaliknya, kalau kau bersalah, hukuman akan jatuh dengan sendirinya. Boleh pilih, menurut tingkat dosamu, dari potong lidah hingga masuk penggorengan raksasa atau dipanggang menjadi manusia guling (ekuivalen kambing guling dari kehidupan dunia). Hubungan Tuhan dan manusia adalah hubungan hitam-putih, dengan spektrum sangat sempit dan tidak ada kemungkinan derajat pilihan cukup besar untuk mewadahi begitu banyak keragaman antarmanusia. Kalau ini yang dijadikan pola kehidupan beragama, masing-masing lalu berada pada kesempitannya sendiri. Jangankan dengan pemeluk agama lain, dengan sesama pemeluk satu agama pun akan terjadi perbedaan tajam. Pemahamanku adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan kau kafir karena kau berbeda dari pandanganku, dus kau bersalah. Neraka adalah bagianmu, dan surga adalah bagianku.

Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh keruwetan hubungan antarmanusia, yang sebenarnya justru jauh dari hakikat agama. Salah satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas perbedaan antarmanusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan, umat manusia dari kungkungan kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Manusia yang tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu sudah tentu tidak dapat mengangkat diri menuju pengembangan sifat-sifat keilahian yang hakiki dalam dirinya, padahal itulah yang justru diminta oleh agama dari manusia. Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintai-Nya, adalah inti dari imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?

Tidak heranlah jika kaum mistik lalu mendambakan keintiman langsung antara manusia dan Tuhannya. Dari para pertapa Hindu dan Budha hingga pendiri ordo Katolik dan para Sufi Muslim, mereka semua mendambakan kecintaan timbal-balik yang tulus antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tuhan dilihat sebagai totalitas kebaikan dan kasih-sayang, dan manusia dilihat sebagai penerima kebaikan dan kasih-sayang itu. Karenanya, ia menerima Tuhan dengan kecintaan mutlak dan penghargaan setulus-tulusnya. Terasa benar kedua hal itu dalam ungkapan Sufi wanita Rabi'ah Al-'Adawiyah: Ya Allah, tiadalah kusembah Engkau karena takut neraka- Mu atau tamak surga-Mu, melainkan kusembah Engkau karena Kau-lah zat tunggal yang patut kusembah. Luluhlah semua perintang di hadapan kecintaan seperti itu, hancurlah semua penghalang di muka ketulusan begitu mutlak.

Memang tidak semua manusia dapat sampai ke tingkat pemahaman Ketuhanan seperti itu, karena memang ia adalah tingkatan khusus untuk sejumlah orang suci saja. Namun, ia sepenuhnya benar sebagai tolok ukur ideal bagi pemahaman yang seharusnya dimiliki manusia akan Tuhan-Nya. Nabi Muhammad menggambarkan bahwa Tuhan adalah sebagaimana dibayangkan oleh kawula-Nya, dalam arti Ia mampu mengisi segala rongga yang ada di benak manusia, dan semua sudut yang ada dalam hatinya. Al-Qur'an mengajarkan bahwa "Tuhan lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri", namun pada saat yang sama Ia "duduk tegak di tahta-Nya". Ini berarti Ia lebih besar dari apa pun rumusan manusia akan hakikat-Nya yang Maha Sempurna. Sia-sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Seperti dikatakan para ulama Muslimin, boleh kalian rumuskan apa saja tentang Tuhan, tetapi jangan tentukan mekanisme kerja-Nya dalam menciptakan alam dan mengaturnya sekali. Boleh kalian sifati Tuhan dengan seberapa pun sifat yang dapat kalian kumpulkan, namun jangan tanyakan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu menyatu dengan Zat-Nya. Jangan sebutkan bagaimana, kata Imam Hambali, bila kaifa dalam bahasa Arabnya.

Gambaran keluasan wawasan Ketuhanan yang seharusnya dimiliki manusia, seperti dicoba untuk digambarkan di atas, rasanya merupakan "pintu masuk" yang tepat bagi buku Romo Y.B. Mangunwijaya ini. Penulisnya melihat hubungan manusia dan Tuhan dalam ketakterhinggaan ufuk Ketuhanan itu, yang melampaui semua perbedaan antarmanusia dan menjembatani semua kesenjangan dalam kehidupan dunia. Manusia pertama-tama tidak dilihat sebagai obyek "garapan Tuhan" saja, melainkan sebagai pelaku aktif yang dituntut untuk mewujudkan pandangan keagamaannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dirumuskan secara global, penghayatan iman seperti itu adalah penghadapan dan pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan, karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang dikehendaki Tuhan.

Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih, maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya sifat-sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat-sifat Tuhan itu dalam diri manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka, dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagad raya ini. Tuntutan keagamaan seperti itu mengharuskan tumbuhnya pandangan tersendirj dalam diri manusia, dan itu akan diperoleh manakala religiositas ditanamkan dalam dirinya sejak masa anak. Bahwa "pendidikan agama" yang konvensional selama ini hanya menekankan penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan, akhirnya mendorong penulis buku ini untuk mencoba memetakan secara sederhana bagaimana seharusnya religiositas anak dikembangkan dan dibina.

Dalam kitab Al-Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangatmu kepada Allah dan ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah. Kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan. Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan. Karenanya, Tuhan yang abstrak tidak akan menciptakan religiositas, karena Ia tidak tergambar dalam keteladanan yang kongkret. Berikan kepada anak sosok Tuhan yang sangat abstrak, dan ia hanya akan menjadi beo peniru rumusan tanpa mampu memiliki religiositas sedikit pun. Letakkan pemahaman anak itu akan Tuhan dalam bentuk yang kongkret, yang dapat diwujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan ia akan mengembangkan dalam dirinya religiositas penuh. Religiositas yang merasa prihatin oleh gugahan keprihatinan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Religiositas yang dalam lingkupnya sendiri mampu membuat anak itu di kemudian harinya mempertanggungjawabkan keimanannya sendiri kepada kehi- dupan.

Sebuah kisah menarik dari khazanah kaum Sufi dapat dikemukakan di sini. Seorang wanita saleh tidak mau memberi minum kepada kucing yang dikurungnya, hingga kucing itu mati. Sedangkan seorang wanita pelacur suatu ketika menolong anjing yang tersesat di padang pasir dari kematian karena kehausan, dengan jalan memberikan kepada anjing itu persediaan terakhir air minumnya. Dilakukannya hal itu dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Di hari kiamat, sang wanita saleh dimasukkan neraka, karena kekejamannya jauh melampaui kesalehannya, sedangkan sang pelacur masuk surga karena kasih-sayangnya menyelamatkan makhluk lain, dan itu melebihi semua kesalahan dan kebobrokan moralnya. Mungkin dalam cerita inilah dapat ditemui gambaran kongkret akan religiositas, jika dimaksudkan dengan itu pertanggung-jawaban keimanan kepada kehidupan. Religiositas dalam arti pemahaman bahwa ajaran formal agama belaka tidak akan mampu membentuk keimanan yang mampu meneropong kehidupan dalam segala keluasan dan kelapangannya. Ajaran formal itu masih harus dikongkretkan dalam sikap-sikap yang menghargai kehidupan dan memuliakan kedudukan manusia. Religiositas yang tidak terpaku pada pembenaran diri sendiri atau ajaran sendiri saja, melainkan yang sanggup membuat manusia menghargai sesamanya, betapa jauhnya sekalipun perbedaan antara mereka dalam keyakinan agama.

Tuhan yang ditanamkan pada diri anak, kalau diikuti garis pemahaman tersebut, adalah Tuhan yang mewujudkan diri dalam bentuk kongkret bagi anak. Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang dimonopoli para teolog. Kalau Romo Mangunwijaya dalam buku ini meminta pengembangan anak yang menjadi milik Tuhan, dengan segala keindahan yang ada pada diri anak seperti itu, maka di akhir kata pengantar ini patutlah disambut ajakan itu dengan mengimbau agar hal itu dicapai melalui pengembangan wawasan yang akan menampilkan Tuhan yang menjadi milik anak. Menjadikan Tuhan milik anak, agar anak menjadi milik Tuhan, kalau meminjam peristilahan masa kini (seperti menyadarkan masyarakat dan memasyarakatkan kesadaran).

Mampukah kita semua, dengan melupakan semua perbedaan agama dan keyakinan masing-masing, melakukan kerja itu?

24-12-1985

Bab I
RELIGIOSITAS 


Bab I
RELIGIOSITAS

1. Bakat Religius Anak Minta Dipandu

KONON pernah Kaisar Barbarossa* memerintahkan agar beberapa bayi setelah lahir langsung diserahkan kepada wanita-wanita perawat yang mendapat tugas khusus, membesarkan anak-anak mungil itu sebaik mungkin. Akan tetapi, dengan instruksi istimewa yang mutlak tidak boleh dilanggar sejengkal pun, bayi-bayi itu harus dijaga agar jangan sampai mendengar suara atau bahasa manusia sedikit pun, baik dari para perawat itu maupun dari luar. Bayi-bayi itu sekali saat toh akan belajar omong juga, tetapi menurut harapan sang Maharaja, omong dengan bahasa yang seasli-aslinya tumbuh murni dari anak-anak kecil itu, bahasa Ilahi. Jadi tidak dengan bahasa yang mereka terima dari orang lain. Pastilah, begitu perkiraan Sri Baginda, bahasa yang akan muncul nanti bagaikan air murni yang mencuat asli dari mata air gunung yang bening, datang langsung dari ilham Tuhan sendiri; bahasa manusia firdaus yang pernah bilang oleh dampak dosa bangsa manusia. Hasilnya ternyata suatu kegagalan total. Bayi-bayi itu cuma bisa berbicara tak keruan. Bahkan sebagian menjadi sakit dan beberapa mati.

Gejala semacam itu terjadi juga sekian abad kemudian pada anak-anak yang dalam lautan api dan ledakan perang Vietnam berpindah-pindah dari pelukan orang satu ke gendongan orang lain. Ketika akhirnya mereka diselamatkan di lembaga-lembaga serta orang-orang tua yang memungut mereka, jauh di USA, banyak yang menunjukkan gejala-gejala pertumbuhan mental tidak normal.

Kini para ahli memperkuat pendapat umum yang awam, namun sehat, bahwa pertumbuhan anak secara badaniah maupun mental sangat membutuhkan sentuhan-sentuhan langsung dengan Ibunya serta orang-orang sekeliling yang memberikan kepastian yang serba menjamin dan berdialog. Bakat-bakat alam memang ada, akan tetapi di sini pengertian alam harus lengkap. Bayi bukan semacam hasil-jadi seperti mesin dari pabrik. Mesin dari pabrik merk terkenal dijamin bagus. Mesin dari pabrik merk tak terkenal jangan dibeli ! Bukan juga kita semacam biji sawo yang menghasilkan sawo, atau biji kelapa yang menumbuhkan pohon kelapa. Alam harus kita artikan secara lengkap: alam keseluruhan kemungkinan manusia, kesempatan, pacuan, imbauan, suri teladan, halangan, pembinaan, iklim tumbuh, suasana bersemi, penderitaan, sakit, kekecewaan, kematian, dan seterusnya.

Kedua-duanya, kemungkinan-kemungkinan benih pada si anak dan seluruh pengaruh lingkungan dalam arti menyeluruh dan seutuhnya membentuk watak, perilaku, dan pemekaran diri si anak. Itu berlaku dalam hal perkembangan pertumbuhan kesehatan, dalam pertumbuhan kepandaian, serta selera. Namun juga, teristimewa dalam wilayah-wilayah yang lebih halus, kebudayaan, kemampuan dapat iba hati, suka menolong, mudah memaafkan, dan last not least cita rasa religius yang takjub cinta serta mencari kehendak Allah. Tidak ada sesuatu di dalam diri anak yang datang otomatis dengan begitu saja. Baik itu mengenai soal kepandaian bermatematika, kemahiran main bola, menari, merias diri, bersopan santun, maupun mengenai hal-hal yang tergolong luhur seperti sikap dan cita rasa religius.

2. Manusia Agamawan dan Manusia Religius

Namun kita harus arif. Religiositas (kata sifat: religius) tidak identik sama dengan agama. Seumumnya diandaikan, dan memang itu yang wajar dan seharusnya, orang yang beragama itu adalah sekaligus orang yang religius juga. Itulah yang kita harapkan. Tetapi tidaklah jarang terjadi, orang penganut gigih suatu agama, tetapi dengan motivasi dagang misalnya. Atau agar mudah menanjak karirnya. Terjadi juga seseorang berpindah agama karena dituntut oleh calon mertua, karena kebetulan dia tidak beragama sama dengan yang dipeluk si calon suami atau istri. Atau juga terjadi, menurut anggapan orang luar seseorang sangat tekun dan taat melakukan agamanya secara lahiriah, akan tetapi di luar ia lintah darat, sedangkan di dalam rumah ia menindas istrinya, diam-diam suka berjudi atau main serong, dan sebagainya. Orang-orang semacam itu memang resmi betul-betul memeluk suatu agama, bahkan menurut pandangan umum boleh jadi dianggap teladan perihal hidup beragama, akan tetapi sebetulnya dia kejam, penipu orang lain dan diri sendiri. Ia beragama hanya agar dihormati, dan agar tambah mendapat keuntungan-keuntungan materiil tertentu. Dia bukan manusia religius.

Ada lain lagi yang harus diakui, lahiriah dia tidak begitu cermat menaati aturan-aturan agamanya. Bahkan boleh jadi secara resmi oleh teman-temannya dia dicap atheis. Namun tidak mustahil, orang yang dicap demikian ternyata memiliki rasa keadilan yang mendalam; ia cinta pada yang benar dan benci segala kebohongan serta kemunafikan. Dia perasa yang halus, peka terhadap getaran-getaran sedih orang lain, dan suka menolong. Dia banyak merenung tentang hakikat hidup dan mencari dengan tekun serta kritis lika-liku perangkap penipuan pada dirinya maupun masyarakat sekelilingnya. Dia dapat bergema terhadap segala yang indah dan luhur, sampai orang lain merasakan kedamaian dan kepastian bila dekat dengannya. Dia boleh jadi bukan orang yang sempurna atau teladan, akan tetapi toh terasa dan jujur harus diakui: dia manusia baik, dia punya antena religius.

Dan ada lagi lainnya, yang (kita boleh mengandaikan, hanya sedikit jumlahnya) sama sekali tidak beragama, apalagi rasa religiositasnya, hampir nol.

Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengulang apa yang telah ia tulis dalam bukunya, Sastra dan Religiositas: Jika seorang muslimin Indonesia bersalat pada saat ritual yang sudah ditentukan dan mengucap dalam bahasa Arab, Bismillaahir rohmaanir rohiim. Alhamdu lillaahi robbil 'aalamiin. Arrohmaanir Rohim. Maaliki yaumiddiin, dan seterusnya (Surat Alfatihah), itu pernyataan agama yang dianutnya. Tetapi bila mistika sufi Rabi'a al-Adawiyya yang saleh berdoa dalam bahasa hati (sengaja tidak kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sesudah dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris): 0 my God, the best of Thy gifts within my hearts is the hope of Thee and the sweetest word upon my tongue is Thy praise, and the hours which I love best are those in which I meet with Thee ... 0 my Lord, my plaint to Thee is that I am but a stranger in Thy country, and lonely among Thy worshippers, maka muslimat kencana itu sedang mengucapkan ungkapan religiositasnya.

Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada "Dunia Atas" dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Gesellschaft, bahasa Jerman). Religiositas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati", riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, du coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim. Suatu lagu yang berkualitas religius, seperti Tuhan ciptaan Trio Bimbo, dengan penuh haru dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang Muslim maupun Kristen. Begitu juga, sikap-sikap religius seperti berdiri khidmat, membungkuk, dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan; mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah sumarah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu solah bawa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya juga."

Maka bila kesadaran mengenai aspek-aspek keagamaan dan religiositas kita jernihkan, kita lalu akan lebih berhati-hati, tidak gegabah. Kita lalu teringat pada yang pernah dipersaksikan oleh seorang penulis novel terkenal dan penjelajah realita di balik semu manusia, yakn iGraham Greene: "There is far more religious faith, in (communist) Russia than in (christian) England". Sebab, tidaklah jarang seorang janda tua miskin yang penuh derita menanggung anak cucu yang menyeleweng memperlihatkan ketabahan yang mengherankan. Terjadi pula seorang bekas pencuri atau pelacur yang meringkuk dalam penjara jauh membuktikan kadar tinggi religiositasnya daripada seorang pendeta atau haji yang dipuji-puji oleh khalayak ramai. Tentulah, yang kita cari dan cita-citakan bagi anak-anak kita ialah bagaimana mereka dapat tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama baik (jadi: keluar sebagai anggota masyarakat sehukum agama), namun sekaligus orang yang mendalam cita rasa religiusnya. Tetapi apabila kita terpaksa harus memilih, toh lebih baik dan lebih simpatiklah dia yang mendalam kejujurannya, dan yang menyinarkan damai murni karena asli sejati cita rasa religiositasnya, walaupun barangkali dalam bidang keagamaan dia kurang patuh. Itu dibanding dengan orang yang hebat keagamaannya, tetapi temyata itu cuma kulit luarnya belaka. Sedangkan kehidupan sesungguhnya serba tipuan semu.

Oleh karena itulah, dalam mendidik anak-anak kita, kita pun harus sangat memperhatikan dua aspek tadi, keagamaan dan religiositas. Memanglah sesungguhnya, aspek keagamaan dan aspek religiositas itu satu tetapi dua. Bagaikan suami istri semestinya tak dapat dipisah-pisahkan karena harus saling memperlengkap dan saling mendukung. Sebab keduanya pada hakikatnya adalah konsekuensi dari kehidupan manusia yang mempunyai dua kutub juga, kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah pergaulan masyarakat manusia.

3. Mengapa Sikap Religius Harus Kita Perhatikan?

Tetapi praktis, dalam benua-benua tertentu yang iklim mentalnya serba ekstrem individualis, aspek kebersamaan dalam kehidupan menghadap Tuhan perlu ditekankan secara khusus. Agar tidak timpang dan lebih utuh harmonis. Namun pada bangsa-bangsa yang segala-galanya berjalan secara kolektif, serba larut dalam adat-istiadat masyarakat, justru diperlukan pendidikan yang lebih menekankan aspek hidup pribadi, jadi aspek religiositasnya.

Di Indonesia kehidupan seumumnya kolektif, kegotongroyongan dan mental pasrah terserah nasib yang mudah terhanyut dalam arus masyarakat, sangatlah kuat. Orang yang sedikit mengungkapkan kepribadiannya yang khas sangat mudah dicap individualis, sombong, ingin menonjol, dan sebagainya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka pada pakaian seragam, satu bahasa, satu gerak, dan sebagainya; penuh dengan orang-orang yang suka ikut-ikutan, dan yang kecenderungannya latah ikut mode macam-macam tanpa berpikir, apa ini-itu perlu atau tidak, baik atau tidak. Relatif jarang ditemukan orang yang benar-benar berkepribadian, dan yang berani menanggung risiko untuk teguh mampu bersikap lain dari sikap kebanyakan orang yang memang kaprah tersebar luas, tetapi salah. Kita biasanya tidak suka ribut-ribut, lebih suka hanyut saja dalam arus, walaupun jelas arus itu keliru. Seolah-olah kita berpendirian bahwa lebih aman hancur bersama-sama orang banyak daripada benar lagi selamat, tetapi sendirian.

Dalam iklim masyarakat yang demikian, pendidikan sikap religius jauh lebih penting daripada pendidikan agama. Sebab karunia pembinaan agama sudah berlimpah-limpah dihidangkan dalam negeri kita ini. Seluruh iklim dan kebudayaan masyarakat maupun kebijaksanaan negara sudah kuat sekali mendorong kita untuk ber-AGAMA. Itu suatu plus. Yang masih perlu dikembangkan ialah kelengkapannya, bahkan mahkotanya, ialah jiwa yang religius.

4. Cita Rasa Religius Mencari Kualitas

Kita telah tahu tadi bahwa religiositas lebih (lebih bukan melulu) bergumul dalam lubuk-lubuk kedalaman jiwa, dalam sikap yang lebih mencari sari, dalam serat-serat kehidupan kita yang tidak begitu kelihatan atau sama sekali tidak kelihatan tetapi vital. Seperti akar-akar pohon atau jaringan buluh zat-zat penghidupan. Wanita punya wajah dan kulit molek. Tetapi kita tabu, esensi wanita ada pada rahim dan sikap serta cita rasanya menghadapi suami maupun anak-anaknya. Kerahiman itulah salah satu lambang religiositas; rahim, yang mengemban dan menumbuhkan kehidupan. Wanita cantik dapat mandul dan wanita berupa buruk dapat subur rahimnya. Maka religiositas itulah yang diperhatikan kaum agamawan yang dewasa. Dan untunglah, rakyat Indonesia seumumnya punya ciri khas yang sangat bagus, yakni suka rukun perihal keagamaan. Naluri dan akal sehat rakyat kita spontan sadar bahwa yang menghubungkan sesama kawan dan orang-orang yang berlainan agamanya justru adalah sikap serta karya yang bersumber pada religiositas. Dalam penghayatan sari religius itulah orang-orang yang berbeda agama, berbeda suku, status maupun tingkat kekayaan saling berpadu penuh toleransi, saling menghargai seperti dalam simfoni gamelan atau orkes.

Pada tingkat religiositas, bukan peraturan atau hukum yang berbicara, akan tetapi keikhlasan, kesukarelaan, kepasrahan diri kepada Tuhan. Dalam rasa hormat takjub, namun juga dalam rasa cinta. Dalam suasana pujaan yang tidak lagi mencari menang. Karena tergenang oleh rasa syukur penuh rendah diri. Sebab kita sadar bahwa yang menang bukanlah agama ini atau itu, melainkan Tuhan Allah sendiri, Yang Maha-agung, namun juga Yang Maha Pemurah dan Mahakasih. Yang kalah pun bukan orang siapa atau agama yang mana, melainkan kelaliman, kebohongan, kesombongan, kesewenang-wenangan, iblis, roh serta pikiran-pikiran jahat, tingkah nista. Dalam taman sari religiositas bunga-bunga yang bermacam-macam corak tidak saling bersaing, tetapi saling memeriahkan. Pohon-pohon tidak mencemoohkan perdu atau rumput, tetapi saling menyumbang demi keselarasan keseluruhan. Seperti juga suami tidak meremehkan istri, "hanya" karena dia perempuan; dan istri kagum bangga karena suaminya justru lelaki sejati.

Dalam danau religiositas tercermin awan-awan angkasa kedamaian yang sejati, karena manusia yang religius bersuka hati bila orang lain meraih sukses berkat ketekunan kerjanya yang halal. Sebaliknya ikut gelisah bila taufan di jiwa kawan membawa malapetaka.

Agama bertugas agar kehidupan masyarakat manusia teratur dan pemujaan Allah secara bersama tidak simpang-siur atau lebih buruk lagi, menyeleweng. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hukum, dalam ajaran, khotbah dan manifestasi publik, dan sangat memperhatikan segi kuantitas serta tata pementasan. Kualitas juga diperhatikan, tetapi dengan sendirinya itu hanya mungkin sepanjang masih dapat dilihat, diukur, dinilai dari luar.

Religiositas hanya dapat dihayati dari dalam, sangat sulit bahkan sering mustahil diukur dan dinilai adil dari gejala-gejala luar. Dalam lubuk religiositas, yang penting bukan kuantitas, melainkan kualitas. Bukan rupa melainkan isi dan esensi. Seperti dalam kerang mutiara, butir mutiara di dalamlah yang menentukan. Peraturan dan hukum tetap dihargai, tetapi yang memukaunya ialah sikap ridlo, keyakinan diam tenang namun kokoh. Religiositaslah ibu dari cinta kepada kebenaran, kesukaan pada segala yang wajar, sederhana, jujur, sejati.

Seperti kumbang, religiositas pertama-tama tertarik oleh kelopak bunga yang molek, tetapi akhirnya ia masuk ke dalam jantung bunga dan mengisap madunya, menyentuh sari.

Agama laksana daun-daun kelopak bunga bahkan madu, yang indah sedap, tetapi religiositas bagaikan sari bunganya yang mengandung kehidupan. Kedua-duanya penting, tetapi kehidupan dan penghidupan toh yang paling menentukan. Dan kita boleh berkata dengan aman bahwa pada akhirnya Tuhan menilai manusia bukan atas dasar fakta kita memeluk formal agama mana, melainkan pada kualitas religiositas kita masing-masing. Sebab Allah bukan manusia yang gampang puas dengan kulit dan permukaan dangkal. Allah tidak dapat ditipu dengan bedak semu dan hal-hal lahiriah gegap-gempita belaka. Seorang jejaka arif pun tidak pernah tertarik pada gadis, melulu karena rupanya ayu, tetapi akhirnya karena perwatakannya yang lebih dalam. Dan ternyata juga dalam praktek kehidupan yang spontan terasa di kalangan masyarakat bahwa memang menyenangkan berpacaran dengan gadis-gadis cantik. Tetapi yang dilamar menjadi istri biasanya mereka yang dinilai selaku calon ibu dan pendamping yang baik. Membanggakan memang berpacaran dengan pemuda-pemuda ganteng. Tetapi untuk dinikahi? Pemuda yang bertanggung jawab yang dipilih. Demikian juga, sepantasnyalah kita menjunjung agama, tetapi yang menentukan kualitas diri kita masing-masing adalah kadar religiositas kita.

*Kaisar Jerman Barbarossa = Janggut Merah = Kaisar Friedrich (1152-1190).


Bab II
TANAH-TUMBUH SIKAP RELIGIUS 


Bab II
TANAH-TUMBUH SIKAP RELIGIUS

1. Anak yang Merasa Dihargai

TETAPI bagaikan pertumbuhan mutiara dalam kulit kerang, religiositas masih harus kita rangsang, kita benihkan, dan kita tumbuhkan dalam jiwa si anak, sejak ia masih sebutir inti dalam kandungan. Sejak dari kandungan? Ya, sejak dari kandungan. Sejak pembenihannya. Dari kandungan, bahkan sudah sejak persiapan sebelum pengandungannyalah awal proses pendidikan anak harus dimulai. Teristimewa pendidikan religiusnya. Sebab mendidik artinya menghormati, menghargai. Guru dan orang tua yang paling berhasil ialah mereka yang mampu dan memulai menghormati serta menghargai anak atau anak didiknya. Sebab dalam pengetahuan bahwa dia dihargai, si anak memekar. Benih potensinya seperti disirami hujan kesuburan, seolah-olah dia disadarkan: Kau hidup, kau akan lebih hidup lagi. Kau dapat dan pasti memekar, dan karena itu kau berharga. Kau berharga karena kau indah; kau indah karena kau setia pada yang benar. Kebenaran ialah ke-anak-anmu. Anak berarti calon, Sang Akan, penuh janji dan harapan. Dan kau akan memenuhi janji dalam dirimu, yakni menjadi semakin dewasa, semakin matang, semakin penuh, semakin subur, sehingga datang saatnya kau sendiri memberi kehidupan. Sang penerima kehidupan menjadi sang pemberi kehidupan, demi nama Allah Yang Mahakuasa, Mahaagung lagi Pengasih dan Penyayang.

Oleh karena itulah pembenihan rahim yang nanti akan menumbuhkan seorang anak manusia tidak boleh dilakukan sembarangan. Di situlah dimulai proses penghargaan kepada si mungil. Penghargaan yang bersinar dalam diri orang tuanya itulah modal pertama bagi proses pendidikan selanjutnya. Demikian juga selama anak dikandung, ayah dan ibunya meneruskan proses itu dalam bentuk sikap si ibu terhadap benih di rahim; namun juga dari pihak si ayah maupun keluarga. Sehingga perkembangan si anak memperoleh segala unsur yang seindah mungkin dari mereka yang paling dekat dengan si calon anak manusia itu.

2. Kemampuan Bertanggung Jawab Atas Hal-hal Sehari-hari

Tentulah proses pendidikan awal itu akan berlanjut terus sesudah bayi lahir, selama pertumbuhannya menjadi kanak-kanak mungil, menjadi anak yang semakin besar dan semoga semakin cerdas juga, berbudi dan berselera religius. Apakah anak kecil yang dulu pernah terkandung secara serampangan, dilahirkan, dan mengalami masa kanak-kanak secara keliru, masih dapat terbina baik dalam segi religius? Pasti bisa, sebab Allah Maha Penyayang penuh kasih kepada anak macam itu juga. Dan lagi, yang mustahil bagi manusia, tidak dengan sendirinya mustahil bagi Tuhan. Tetapi tentulah pertumbuhan anak senasib itu lebih rumit karena keteledoran semasa awalnya.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan religius anak-anak tak bisa lain, harus mulai dari orang tuanya, wali, atau mereka yang dalam pertumbuhannya paling dekat dengan si anak itu. Itu tidak berarti bahwa orang tua harus bergaya kiai atau pendeta. Cukuplah bila orang tua menjalani hidup yang normal, yang sehat, yang seimbang. Seimbang artinya, tahu tempat dan waktu bekerja untuk kehidupan materlil sehari-hari, namun juga tahu menempatkan dan mewaktukan kehidupan rohani secara selaras.

Namun pantas kita sadari bahwa hal-hal materiil dan perkara-perkara dunia fana maupun baka bukanlah dua daerah yang terpisah. Di dalam pengolahan kehidupan fana, kita sudah menanamkan pahala maupun kutukan untuk dunia baka. Apa yang kita kerjakan dalam dunia bisnis atau di sekolah, di bengkel, di dapur, semua itu tidak "cuma" bernilai duniawi belaka yang akan musnah tanpa buah.

Di dalam pengelolaan perkara-perkara materiil secara bertanggung jawab, kita sudah mulai menimba zat-zat penghidupan surgawi. Maka pendidikan religius anak-anak harus dimulai dengan pendidikan menghargai serta bertanggung jawab terhadap hal-hal sehari-hari yang seakan-akan tak berarti atau tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan rohani. Dengan mental apa kita main sepak bola, dengan cara apa kita meminjamkan uang kepada tetangga yang harus membayar rekening rumah sakit, dengan kata-kata apa kita memberi sedekah bagi orang miskin, dengan lika-liku apa kita berpolitik, dengan jiwa apa kita meriset perilaku masyarakat, itu semua sangat relevan untuk kehidupan dan pendidikan religius. Pertama-tama untuk diri kita sendiri, orang tua. Namun secara langsung itu akan berdampak juga kepada si anak. Sebab betul, anak belum dapat berlogika sekolah, dan banyak hal belum dipahami otaknya. Akan tetapi dia punya antena-antena radar dan sensor yang sangat peka merasa apa yang terjadi antara orang tuanya, apa yang mereka bicarakan, hal-hal mana yang dianggap penting dan remeh bagi orang tuanya, soal-soal apa yang menyedihkan dan menggembirakan ayah-ibu, ambisi-ambisi apa, nafsu-nafsu apa yang merajai orang tua, semua itu belum dimengerti (meng-arti) oleh si anak. Tetapi ia me-RASA-kannya secara intuitif spontan. Binatang kuda pun mempunyai intuisi dan sensor spontan bila merasa akan bersua kemungkinan bahaya yang mengancam. Naluri anak pun begitu. Banyak kesan tersimpan dalam ingatan bawah sadar anak. Maka dalam psikoterapi banyak konflik serta penyakit saraf kaum dewasa dapat diterangkan dari "perbendaharaan" pengalaman orang semasa kanak-kanak.

3. Kemampuan untuk Kagum dan Bertanya

Semoga sekarang semakin teranglah bagi kita bahwa pertama dan terutama pendidikan sikap religius pada dasarnya tidak berbentuk pengAJARan, tetapi TELADAN atau peragaan HIDUP secara riil. Si anak belajar tidak dari semacam kurikulum, akan tetapi dengan cara meniru-niru, menyesuaikan, dan mengintegrasi diri dalam suatu suasana, sesuatu yang ia hayati sebagai permainan, yang "aturan-aturan" permainannya sedikit demi sedikit ia ketahui. Terutama aspek meniru-niru itulah gejala umum yang kita lihat terdapat di mana-mana. Tetapi bagi si anak ulah meniru-niru, walaupun belum disadari maksud atau makna sesungguhnya, SUDAH merupakan penghayatan hidupnya.

Si anak selalu belajar dengan mengHAYATI sesuatu. Kita tahu bahwa walaupun sudah tujuh kali si anak mendengar cerita "Si Bawang Putih dan Bawang Merah", "Cinderella", atau "Kancil Mencuri Mentimun", toh ia selalu akan merengek-rengek agar ibu atau kakak mengulang lagi cerita yang sama itu kepadanya. Dia sudah tahu plot bahkan akhir ceritanya. Tetapi bukan itu yang penting baginya. Ia mengHAYATi cerita, itulah yang terpenting. Si anak sendirilah si Bawang Putih atau si Kancil. Di dalam penghayatan suatu cerita, suatu lakon, dia belajar bersentuhan dan berkenalan dengan dunia luar dirinya.

Bahkan dia mengidentifikasi diri selaku Cinderella, misalnya. Dia menghayati bahwa ada yang disebut jahat dan ada yang baik. Ada sesuatu dalam kehidupan ini ternyata disebut nakal, pantas dikasihani, pantas dibela. Dia mulai tahu bahwa ada sesuatu yang pantas didambakan dan ada sesuatu yang pantas dihindari atau dilawan. Dan yang penting, si anak belajar bahwa ada sesuatu yang disebut indah, luhur, mulia, benar, palsu, memberikan damai, dan sebagainya.

Begitulah si anak belajar dan menghayati rasa haru, kagum, bertanya penuh dambaan dan melamun. Dan bila ibu atau kakaknya berkata bahwa bulan purnama mengajak si adik tersenyum dan pohon-pohon saling membisikkan riwayat-riwayat bagus dari wilayah-wilayah yang jauh, si anak sangat paham hal itu. Bahkan dia yakin bahwa bulan itu benar-benar tersenyum dan bahwa yang terdengar di dedaunan sebetulnya adalah bisikan-bisikan riwayat yang mengasyikkan. Si anak adalah penyair yang paling asli. Tidak dalam kata atau tulisan, tetapi dalam penghayatan.

Oleh karena itu, berkali-kali kita melihat seorang anak berjalan di kaki-lima sendirian sambil meloncat-loncat, atau asyik sendiri memandang ke tanah sambil menyanyi lirih lagu entah apa tanpa kata. Si anak adalah penyanyi yang paling asli. Ia penari yang otentik. Ia pengarang yang kreatif. Dia penuh imajinasi dan spontan menjadi penyambung dunia riil dan dunia fantasi. Tanpa kejenjangan atau konflik. Dengan enak tanpa problem si anak dapat saja bercerita kepada ibunya bahwa tadi di jalanan sesudah pulang dari sekolah dia berjumpa dengan Malin Kundang himself atau putri Cinderella herself.

Benarlah, si anak memiliki bakat untuk kagum, untuk bertanya, berimajinasi. Setiap anak berbakat puisi, dan kemahiran main dalang bukanlah sesuatu yang asing baginya. Tanpa jera dia bertanya tentang mengapa langit itu biru dan mengapa kuda punya ekor panjang sedangkan ayam tidak. Tak jemu ia bertanya dari mana kereta api itu datang, dan pergi ke mana burung-burung yang terbang itu. Sikap suka bertanya tentang sebab-musabab segala kejadian, tentang hal-hal dari mana ke mana, kepekaan terhadap sesuatu yang penuh misteri, dan kemampuan untuk kagum murni, menghayati dunia lambang atau puisi, itulah persis modal vital bagi cita rasa religius. Sebab bagi si anak dan bagi manusia religius, yang penting bukanlah gejala atau kulit luar, tetapi yang terselubung penuh misteri, yang mengagumkan, dan yang mengajaknya menghayati alam, yang biar jauh seolah-olah, tetapi fantastis; tidak "fana" atau teknis belaka, tetapi yang penuh makna "di balik semu". Bagi dia hal-hal yang wadaq atau teknis belaka tidak ada. Selalu ada sesuatu plus di balik semua yang ia lihat dan alami. Dan justru itulah landasan yang diperlukan bagi jiwa yang religius. Manusia religius adalah manusia yang selalu bertanya tentang apa yang ada sebenarnya di balik permukaan segala ini. Yang tidak kelihatan, ia duga lebih sejati dari yang kelihatan.

4. Pembudayaan Budi Hati

Manusia religius bukan pengkhayal yang ingin lari dari realita. Tetapi dia sadar dan tidak sadar mencari MAKNA di balik segala wadaq yang ia lihat. Dia tidak puas dengan hanya berbiduk-biduk senang di atas permukaan laut. Tetapi ia ingin menyelam dalam keheningan di bawah permukaan, mengagumi keindahan koral-koral dan tari ikan-ikan serba warna-warni. Bagi orang yang tidak religius, ibaratnya, laut hanyalah biru berbuih-buih belaka, bahari untuk kapal-kapal dagangnya. Manusia religius tahu dan memanfaatkan juga kapal-kapal untuk berdagang atau menangkap ikan, tetapi ia ibarat pendamba keindahan-keindahan tersembunyi di dasar lautan. Atau ia laksana seorang astronaut, yang melihat bumi tidak cuma sebagai kumpulan tanah dan kota-kota beton, tetapi planet permata biru putih indah, yang membuatnya takjub dan bersyukur kepada Allah Sang Pencipta Segala. Penyelam pengagum keindahan taman-taman koral dan astronaut, yang menghayati betapa mulia planet bumi yang, lain dari yang lain, penuh kehidupan itu, pastilah pukan sejenis orang yang suka membuat bom nuklir dan peledak racun kimia untuk menghancurkan segala yang indah itu. Demikian pun jiwa religius tidak akan berselera ingin rrierusak. Merusak dalam arti fisik maupun moral spiritual. Manusia yang religius pasti bercita rasa pemelihara dan kesukaannya memperindah sesuatu. Justru sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan seperti itulah yang harus kita pupuk dalam hati si anak. Agar menjadi seorang penakjub, manusia yang peka pada yang indah dan mulia, yang suka menyatukan, suka membangun dan memperbarui, yang selaras, yang mempermulia serta mendamaikan.

Jiwa yang peka pada keindahan belum tentu otomatis peka juga terhadap yang religius, akan tetapi kepekaan seperti itu dapat berfungsi selaku landasan dasar, sarana pemersiap. Maka hanya jiwa yang suka pada yang mulia dapat mempermudah pembentukan hati nurarti yang benar serta religius. Sebaliknya mental yang dangkal, jiwa yang kasar, selera yang ngawur sangat mempersulit pemekaran bakat-bakat religius; walaupun kita tidak boleh berkesimpulan, bahwa orang-orang kasar dengan sendirinya orang-orang yang tidak berkenan pada Tuhan. Namun jiwa religius pun bukan sesuatu yang amort, yang serba lepas tanpa integrasi. Jiwa religius pun memiliki struktur yang teratur, sekaligus penuh kemerdekaan kreatif. Dari pihak satu ia perwujudan suatu organisme yang menghendaki keutuhan berdisiplin, namun sekaligus berunsur spontanitas yang serba ria bermain-main. Memiliki struktur di sini artinya: bukan anarki, bukan kengawuran yang mudah terhanyut oleh ketidakpastian. Oleh karena itu, pendidikan religius pun tidak sepantasnya bagaikan onggokan perilaku serta kejadian yang tanpa struktur, tanpa kerangka. Itu bila si anak ingin kita didik menjadi manusia yang bersikap serta bercita rasa religius secara kokoh utuh dan dewasa.

Bab III
SUASANA KEPERCAYAAN DALAM DIALOG 


Bab III
SUASANA KEPERCAYAAN DALAM DIALOG

1. Hubungan Dialog Jangan Sampai Putus

KERANGKA dasar pendidikan sikap religius anak-anak adalah kerangka SUASANA KEPERCAYAAN DALAM DIALOG antara orang tua dan si anak. Itulah struktur petulangan seluruh usaha pendidikan religius terhadap anak. Tentu saja sesudah diandaikan bahwa si orang tua sendiri adalah orang normal yang tahu tentang penempatan serta pemberian waktu demi kepentingan aspek religius dalam kehidupan sehari-hari. Si anak belajar dan memperoleh banyak kesan pertama dari orang tua atau dari wali, ataupun mereka yang dalam masa kanak-kanaknya faktual paling dekat dengan si mungil. Maka hubungan anak-orang tua sangatlah vital. Dan hubungan itu selalu terkerangka dalam situasi serta proses dialog, wawancara, artinya: bertanya dan menjawab, beromong disusul reaksi omongan tadi yang menanggapi. Dalam bentuk gurauan, sanjungan, nasihat, cerita. Bahkan juga bila anak membantah, membual, dan seterusnya. Hubungan dialog itu mati-matian harus dipertahankan dan ditingkatkan oleh orang tua, karena ini mutlak menentukan jalan atau tidak jalannya pendidikan.

Maka hendaklah kita berikhtiar dan melestarikan arus dialog dengan si anak. Dari pihak anak selalu ada kebutuhan dialog, dan nyatanya mereka selalu juga mengajak orang tua untuk saling berbicara. Arus olak-alik omong antara orang tua dan anak sejak dini harus diperhatikan sungguh-sungguh. Janganlah hendaknya terjadi, anak merasa terhalang atau terpotong untuk menyatakan sesuatu. Jika ia bertanya ini atau itu, jika si anak mengobrol macam-macam, bahkan berkhayal maupun membual, hendaklah dia tetap kita tanggapi serius. Tanggapilah dia seolah-olah kita tidak tahu dia sedang berkhayal. Walaupun sering kita wajib memperingatkannya agar membatasi khayalan omongannya, sambil memperbaiki bahasanya. Atau biasa saja, membantah hal-hal yang memang perlu dikoreksi agar benar. Namun toh, anak harus merasa bahwa dia ditanggapi, bahwa dia diperhatikan. Itu sering bentrokan dengan adat-istiadat pribumi kita yang serba harus bagus rapi, tetapi tidak kena untuk masa kini. Misalnya orang tua sedang berbincang-bincang dengan tetangga atau tamu terhormat. Tiba-tiba si mungil datang dan bertanya ini-itu, ingin bercerita sesuatu. Menurut kesopanan adat mestinya anak itu harus "diusir", disuruh diam. Memang penghormatan kepada tamu menghendaki dia "diusir", sedangkan si anak perlu diajari sopan-santun. Tetapi cara yang paling baik untuk semua pihak ialah, bila orang tua satu-dua menit menghadap kepada si anak dulu, mendengarkan cerita celotehnya; menanggapi celotehnya dengan serius; kemudian mengajaknya untuk kasih tangan dulu kepada tamu dan memperkenalkan dirinya. Baru mengatakan kepada si anak bahwa ayah sedang bicara penting dengan tamu. Maka si anak diminta dengan ramah agar manis pergi ke belakang. Nanti soalnya dapat diteruskan seusai tamu pergi. Pasti si anak mengangguk-angguk serius bangga, seolah-olah dia paham dan mengizinkan para dewasa itu untuk meneruskan percakapannya; lalu pergilah ia dengan ria. Sebab sering itu tadi hanya demonstrasi minta perhatian. Semacam ungkapan kekuatiran bahwa dia akan dikalahkan dan orang tuanya lebih mementingkan orang lain daripadanya. Yang paling vital di sini ialah si anak selalu diyakinkan bahwa dia penting; bahwa percakapannya dan omongannya selalu diperhatikan. Kendatipun ibu tahu bahwa sepulang dari sekolah, anaknya bercerita macam-macam, bahkan jelas bualan. Tetapi si ibu harus cukup bijak untuk "mengambil serius bualan" si anak. Bolehlah dia dikoreksi sedikit bila memang keterlaluan. Namun hendaklah kita ingat bahwa bualan anak bukan bualan orang dewasa punya. Itu tadi lebih merupakan imajinasi yang menggairahkan fantasi serta daya kreasinya. Dan sungguhlah vital diperlukan memang dunia fantasi anak-anak.

Demikianlah si anak tidak pernah akan takut mengatakan apa pun, yang penting atau tidak penting, yang baik maupun yang buruk. Semua itu modal untuk kelak. Si anak harus belajar bahwa bolehlah terhadap orang luar ia punya rahasia, akan tetapi terhadap orang tua, paling sedikit kepada salah seorang dari orang tua, ayah atau ibunya, dia tidak pernah akan malu atau takut memperbincangkan apa pun. Termasuk perkara-perkara yang sama sekali tidak mudah seperti soal-soal yang menyangkut Tuhan, agama, moral, religiositas, dan sebagainya. Bila mengenai soal-soal pelik itu ia tetap dapat terbuka sepanjang masa anak-anaknya, dan bila selanjutnya di masa puber yang sulit itu dia toh masih dapat terbuka jujur terhadap orang tuanya, maka berbahagialah orang tua dan anak demikian. Si anak akan lebih kuat. Banyak benturan yang tidak perlu akan terhindari atau diolah bersama. Sampai pada soal calon suami atau istri pun, atau tentang soal-soal keagamaan yang tidak begitu saja dapat diterima oleh generasi muda masa kini, si anak harus dapat berterus terang. Walaupun yang dipertanyakan si anak itu hal-hal yang tidak enak didengar oleh orang tua. Walaupun mencemaskan atau sangat mudah menimbulkan amarah. Akan tetapi toh lebih baik si anak terbuka apa adanya, dengan segala borok-boroknya di muka orang tua daripada terbuka total kepada orang lain, yang barangkali tidak begitu mengenal si anak, relatif kurang cintanya kepada si anak. Tentulah si anak, bila sudah tumbuh besar berhak punya rahasia pribadi, akan tetapi akan lainlah situasi hubungan orang tua-anak yang serba jujur terbuka daripada bila itu tertutup atau terputus. Hanya karena si anak sejak kecil merasa tidak diperhatikan orang tuanya, atau yang merasa: toh orang tuaku tidak mau memahamiku.

Anak membutuhkan dialog terus-menerus dengan orang tua. Baik itu mengenai uang sekolah, pakaian, rencana piknik, maupun mengenai hal-hal yang lebih pelik dan rumit: soal calon jodoh misalnya, soal pandangan serta perubahan zaman. Termasuklah juga, soal-soal yang langsung atau tak langsung mengenai Tuhan, makhluk, semesta, agama, religiositas, dan sebagainya. Anak perlu dididik mencintai orang tua, kakak, adik, tetangga, sesama manusia terutama yang miskin, lemah. Namun juga dan itu last but not least, mencintai Tuhan, mencintai tata-semesti-Nya, kehendak-Nya. Dan bila si anak sudah terbiasa berdialog dengan orang tua, kakak-adik dan semua yang paling dekat dengannya, maka si anak tidak akan menemukan kesulitan parah untuk berdialog dengan Tuhan, pengemban hidupnya dan seluruh semesta. Tentulah berdialog dengan Tuhan yang tidak kelihatan lain cara dan bahasanya dibanding dengan dialog dengan manusia fana. Akan tetapi, paling sedikit si anak sudah punya modal untuk membuka hati, untuk berani mendobrak ketertutupan dirinya. Dia sudah belajar untuk percaya kepada partner dialog. Dia telah terlatih dalam kesadarannya bahwa manusia membutuhkan pihak lain. Membutuhkan kasih. Dan siapa pihak lain yang tertinggi dan terdalam selain Tuhan? Tuhan yang penuh misteri. Tuhan yang tidak teraba, namun hidup dan menghidupi. Tuhan yang tidak acuh-tak-acuh terhadap si anak, sekarang dan kelak bila sudah menjadi dewasa. Tuhan yang memperhatikan hal-ihwal hidup si anak. Tuhan yang suka menawarkan pertolongan-Nya. Tuhan Yang Maha Agung, Mahakuasa, namun juga Yang Mahakasih lagi Penyayang.

2. Dialog Penghayatan Bersama dan Dialog Kata

Dari mana anak mendapat pelajaran pertama tentang segala yang mengenai kasih sayang? Dari dialog sejak dini pagi dengan orang tuanya.

Bagaimana berdialog dengan anak?

Pertama perlu diperhatikan bahwa pengertian dialog di sini tidak hanya mencakup dialog dalam bentuk saling berbicara mulut, tetapi dalam arti keseluruhan, sikap dan perilaku hidup secara total. Bila seorang janda mengajak anaknya memetik bunga-bunga ladang untuk menghias foto ayah almarhum, maka itu tergolong dialog juga yang menyinggung tema berat: kematian. Apakah si anak perlu diajak bicara tentang gejala kematian? Tentu, yaitu dengan cara dan pada tingkat anak jangan dihindari! Jika si anak yang masih kecil diajak ayah-ibu pergi ke gereja atau takbiran, itu dialog juga. Jika seorang ayah memberikan sekeping duit kepada si anak agar itu diberikan kepada seorang miskin, itu termasuk dialog juga. Dan bila si ayah memberi petuah, agar cara memberikan duit itu jangan serampangan, tetapi penuh hormat dan kasih sayang, maka itu dialog mengenai religiositas yang berkualitas tinggi. Apalagi jika orang tua memberi contoh kepada anak, bagaimana sikap yang tepat bila ingin berdoa atau bersholat. Dan mengapa begitu, serta dengan sikap hati yang bagaimana serta mengapa. Biarlah kata-kata sedikit, sederhana tetapi meyakinkan, karena disertai perbuatan. Maka semua itu dialog yang asli tentang religiositas yang benar. Masih setingkat anak, akan tetapi benih-benih mulia demi pertumbuhan pohon kehidupan yang kokoh bagi si anak.

Dialog bukan khotbah, tetapi penghantaran iman yang alami, penyampaian keyakinan secara spontan, penguatan sendi-sendi moral yang sederhana melalui perkara-perkara yang biasa dan sehari-hari.
Sering keterangan-keterangan yang istimewa perlu dikemukakan juga. Akan tetapi melalui teladan dan pelaksanaan kehidupan yang riil, si anak harus mengalami, betapa satu tunggal dunia religius dan dunia sehari-hari. Sehingga akhirnya ia ditanami suatu spontanitas keutuhan hidup yang tanpa dualisme aneh-aneh. Keutuhan antara segi-segi rohani dan jasmani itulah yang penting. Agar jangan sampai si anak kelak menjadi orang agamawan yang dengan hebat menyumbangkan uang banyak untuk pembangunan masjid atau gereja, tetapi tanpa malu menjadi koruptor besar, penjudi, penganiaya istri dan anak.

Dialog bukan juga instruksi atau perintah. Perintah yang bersifat keharusan punya tempatnya sendiri, dan memang sering anak mendapat perintah. Akan tetapi perintah kepada si anak harus selalu diimbangi dengan dialog yang benar. Betapapun kecil si anak dan tiada pengalaman, akan tetapi setiap anak penuh pertanyaan dan kekaguman. Bagi dia banyak hal mengandung kehidupan dan penuh misteri. Pertanyaan anak tidak mungkin dijawab dengan perintah. Namun sebaliknya jangan juga jawaban terlalu rasional, sehingga justru membingungkan si anak yang masih belum saatnya meninggalkan dunia fantasi, suasana perasaan yang peka puisi serta citra keutuhan seluruh semesta. Tidak perlu bulan yang ramah tersenyum dan bisikan angin di dalam dedaunan "dikoreksi" drastis dengan keterangan-keterangan "ilmiah" tentang planet-planet dan satelit-satelit, atau gejala perbedaan tekanan udara di wilayah satu dan lain sehingga angin menghembus, dan sebagainya.

3. Dialog Melalui lmajinasi Dunia lndah

Anak tidak dungu dan dia tahu juga bahwa cerita dongeng itu khayalan yang tidak perlu segala-galanya harus ada sungguh-sungguh. Tetapi ia membutuhkan kreasi dunia serba baru, dunia imajinasi anak-anak, yang lain sama sekali daripada dunia kaum dewasa. Dan itu mutlak perlu, sebab dunia dewasa sering terlalu keji dan tak terpahami untuk si mungil; terlalu kotor penuh polusi macam-macam yang dapat merusak alam cita rasa si anak pada umur sehijau itu. Oleh karena itu dialog orang tua-anak, khususnya yang menyentuh masalah-masalah Tuhan jangan pula hanya didasarkan nalar logis ataupun rasionalisasi teknis belaka (yang absurd sebetulnya). Akan tetapi lebih baiklah itu semua diterjemahkan melalui pelambangan puisi, musik, drama, cerita, permainan, serta ikhtiar-ikhtiar lain yang lebih cocok dengan dunia anak-anak. Memang bijaksanalah Tuhan yang menganugerahkan kemampuan besar untuk berfantasi dan berkhayal dalam diri anak-anak yang masih murni itu. Sehingga ia mendapat kesempatan untuk tumbuh kuat dulu, fisik dan mental, sebelum menghadapi kehidupan yang riil. Riil artinya tidak selalu bagus, bahkan sering kotor, kejam. Dunia anak-anak harus bagus, mengharukan, indah, dan berwarna-warni ideal. Anak yang tumbuh dalam suasana yang terlalu miskin, jorok, dan hina sudah terlalu pagi kebilangan kesempatan untuk membentuk akar-akar yang kuat, sebelum menghadapi badai: Anak malang seperti itu mudah tumbang dan jiwa religiusnya terlalu cepat tercekik. Anak yang tidak mendapat kesempatan dialog sejak kecil dan terpaksa segala-galanya harus dipikir sendiri dan dicari penyelesaiannya sendiri, anak semalang semacam ini akan membatu, tertutup dan bakat-bakat religiusnya pun tertindas terlalu pagi.

Tanpa dialog yang baik dan membangun dengan kaum dewasa, khususnya dengan ayah-ibunya, kakaknya maupun neneknya, si anak terlalu pagi harus memikul beban pertanyaan hidup dan konflik batin sendirian. Dia bagaikan buruh anak-anak yang lekas kering, layu, dan hancur pada usia terlalu muda. Selain itu kita tahu bahwa hukum alam menempatkan si anak dikandungkan dulu dalam rahim ibunya, berkat benih ayahnya, sebelum masuk ke dalam gelanggang hidup. Begitulah Tuhan telah menggariskan bahwa demi si anak (namun juga demi orang tuanya) si manusia mungil yang lemah dalam segala hal itu benar-penar dipercayakan kepada orang tuanya. Artinya, Tuhan mewahyukan diri-Nya pertama-tama MELALUI orang tuanya. Dan baru sesudah itulah kepada para guru; guru ketrampilan segi materiil, mental, dan spiritual yang dibutuhkan setiap orang untuk bertahan hidup biologis maupun sosial. Termasuk segi religiositas serta keagamaan, kebaktiannya terhadap Tuhan, namun juga kerukunan selarasnya dengan sesama manusia. Melalui dialog yang berkesinambung terus. Jadi dialog dengan orang tua, wali, kakak atau mereka yang paling dekat sehari-hari dengan si anak inilah yang primer. Dan bukan pengajaran kurikulum agama, mata pelajaran agama di sekolah atau di fakultas kelak.

Bab IV
MEMBINA PENCITRAAN TUHAN YANG BENAR 


Bab IV
MEMBINA PENCITRAAN TUHAN YANG BENAR

1. Tuhan Bukan Mandor Pencari Kesalahan

APA yang harus didialogkan dengan anak, agar si anak memiliki cita rasa religius yang benar lagi kokoh? Pertama-tama kita harus berikhtiar agar hal-hal di bawah ini tertanam dalam cita rasa anak:

Tuhan bukan semacam polisi atau jaksa tinggi yang tugas utama-Nya mencari kesalahan orang; yang memeluit langsung marah-marah bila ada pelanggaran. Kita sering terlalu mudah mengancam anak dengan hukuman Tuhan, dengan neraka dan siksaan-siksaan yang akan kita terima bila kita berdosa, dan sebagainya. Kita lekas cenderung memakai senjata menakut-nakuti anak agar sasaran kita cepat dan mudah tercapai. Dalam banyak hal orang-orang kita terbiasa selalu ingin mencari jalan pintas yang gampang. Lupa bahwa banyak perkara kemanusiaan tidak mungkin tercapai dengan cara-cara gegabah. Seorang tani pun harus punya kesabaran dan ketekunan untuk menunggu agar padi dapat dipetik. Ancaman-ancaman dalam bidang religius sangat merusak anak. Anak lalu teracuni gambaran keliru, seolah-olah Tuhan itu polisi atau jaksa yang sukanya cuma membuat neraka untuk menyiksa orang-orang yang bersalah. Dan karena si anak mengalami sendiri bahwa ia sering dimarahi (artinya dianggap salah) oleh orang-orang dewasa, maka dia mengira bahwa neraka itu penuh anak-anak yang dianggap nakal dan bersalah oleh dunia dewasa. Apalagi bila masih dibumbui cerita-cerita hantu, kuntilanak, jin-jin, iblis-iblis, danyang pohon, peri-peri kuburan, dan macam-macam khayalan kaum tua korup yang serba takut. Maka dalam bayangan anak, Tuhan menjadi semacam superhantu yang tiada terkira ngerinya. Bila si anak sejak kecil diracuni oleh cara-cara menakut-nakuti semacam itu, tidak mungkinlah kehidupan religiusnya akan bertumbuh secara benar dan baik. Kehidupan religius baginya lalu berkisar pada usaha-usaha lihai, bagaimana dapat membuat Tuhan tidak marah; bagaimana Sang Polisi Agung itu dapat disuap dengan sesaji-sesaji. Si anak lalu main korupsi dengan Tuhan. Bukan Tuhan yang sebenarnya, melainkan Tuhan buatan orang-orang tua yang tidak pernah dewasa.

Anak harus diyakinkan, dari awal mula, bahwa Tuhan bukan mandor pencari kesalahan, melainkan Tuhan yang selalu mencari kebaikan dalam diri si anak. Bahwa Tuhan memang benar Mahabesar dan Mahakuasa, akan tetapi Mahabaik juga, Pemurah, dan Penyayang. Jika Tuhan selalu digambarkan sebagai tukang pencari kesalahan dan suka menghukum, maka sebenarnya itu menandakan bahwa dunia orang tua ternyata suka mencari kesalahan dan senang kalau orang lain dihukum. Sebab, pohon kelapa menghasilkan buah kelapa, dan pohon durian membuahkan durian. Apakah kaum dewasa begitu sering berbuat dosa,sampai begitu kacau dan timbul ketakutan dalam benaknya? Ketakutan yang sering membuat hantu-hantu?

Celakanya, bila hantu-hantu kaum tua itu dilimpahkan kepada anak. Padahal kesalahan para anak-anak sama sekali lain dari dosa kaum dewasa. Sebenarnya anak-anak seumur SD ke bawah dapat dikatakan, tidak pernah berbuat dosa. Dosa dalam arti yang benar-benar perbuatan jahat. Sebab dosa dilakukan, bila orang tahu sungguh-sungguh, perkara apa yang ia lakukan, dengan sadar dan kemauan yang matang. Padahal sang anak belum tabu banyak tentang banyak hal. Kesadarannya masih kuncup belum terbentuk, sedangkan kemauannya barulah kemauan tingkat anak. Artinya, belum matang. Kalau seorang anak memecahkan genting dengan batu yang ia tembakkan dari katapelnya, maka sungguh, dia sama sekali tidak bermaksud jahat memecahkan genting tetangga. Dia tadi melihat burung di ranting, dan tanpa pikir panjang dia tembakkan pelurunya. Tentulah dia harus dimarahi, bahwa perbuatannya merugikan tetangga dan dia salah. Tetapi kesalahannya secara subyektif tidaklah seberapa. Lain bila yang menembakkan batu itu orang dewasa.

Oleh karena itu, kita janganlah hendaknya lekas-lekas menakut-nakuti anak dengan hantu-hantu yang enak saja kita proyeksikan pada Tuhan (Tuhan buatan kita sendiri), hanya agar larangan-larangan kaum tua (yang belum tentu larangan Tuhan sendiri) dipatuhi secara efektif. Itu jalan pintas yang terlalu kita cari gampangnya. Akan tetapi, akhirnya pasti menjadi senjata makan tuan. Dari pihak lain, seperti yang telah kita bicarakan dalam pasal sebelumnya, kita kaum tua sendiri pun jangan berlagak polisi atau jaksa terhadap anak. Kita pun haruss menjadi sesinar citra Tuhan Yang Maha Pemurah dan Penyayang, yang lebih suka mencari kebaikan anak-anak kita sendiri daripada kesalahan-kesalahannya. Kita harus lebih mudah memuji hasil prestasi si anak yang kecil sekalipun daripada mencari kesalahannya yang biasanya dilakukan tanpa sadar sungguh-sungguh mengenai duduk perkaranya maupun akibat-akibatnya. Namun, tentulah kita tahu bahwa itu tidak berarti kita dianjurkan untuk memanja si anak dan pura-pura tidak mau tahu tentang hal-hal yang keliru padanya. Pastilah anak harus kita marahi dan kita perbaiki kelakuannya kalau dia keliru. Akan tetapi anak sungguh dapat merasa, apakah kemarahan orang tuanya itu datang dari hati yang penuh tanggung jawab demi kebaikannya, ataukah hanya luapan-luapan emosi kejengkelan saja karena merasa terganggu oleh anak. Jika demikian, maka anak akan merasa diri sebagai gangguan atau beban. Akibatnya, ia akan menjauh sesering mungkin dari orang tuanya. Dengan segala akibat buruk suatu dialog yang terputus.

Dari sikap orang tuanya si anak belajar membarui, apakah Tuhan itu tukang jengkel karena terganggu oleh anak, ataukah Tuhan Maha Penyayang dan Penjaga yang penuh cinta terhadap si anak. Dan dia belajar itu tadi primer dari SIKAP serta PERILAKU orang tuanya, dan baru pada tahap kemudian dari ajaran atau petuah yang terungkap dari kata-kata. Jika anak menghayati dari sikap dan kata orang tuanya, bahwa Tuhan itu Mahamurah dan Pengasih, maka dengan mudah si anak pun akan bersikap pemurah, pengasih terhadap kawan, dan kelak terhadap tetangga serta dunia kelilingnya. Ia akan mudah berkembang menjadi manusia yang bersifat sosial dari penolong sesama kawan. Paling tidak ia tidak akan mudah menjadi orang yang selalu menggaruk-garuk kesalahan-kesalahan orang lain sambil menghakiminya tanpa alasan.

Demikianlah sikap serta cita rasa religius anak menghadap Tuhan Al Khalik Yang Mahabesar dan Mahakuasa akan terarah lebih benar dan dewasa. Kehidupan rellgiusnya tidak akan digenangi oleh serba rasa takut tetapi oleh rasa kagum hormat yang penuh cinta kepada Tuhan. Demikian pun dia juga tidak akan mudah (secara tidak sadar tetapi riil) berbuat yang aneh-aneh, seolah-olah Tuhan dapat diberi uang semir untuk menghilangkan ketakutannya itu. Maka sikapnya kepada Penciptanya lalu bukan sikap orang yang cuma formal menghaturkan sesaji (selaku bentuk suapan) kepada-Nya, tetapi dalam suasana jiwa yang benar.

2. Tuhan Bukan Maharaja Sewenang-wenang

Selain itu anak kita harus disadarkan, bahwa Tuhan bukanlah semacam diktator atau sultan sewenang- wenang yang kegemarannya main kuasa dan memperbudak manusia-manusia dengan undang-undang serta peraturan-peraturan macam-macam yang hanya merepotkan saja. lni masalah yang tidak mudah, sebab kesan pertama dari agama mana pun ialah gugusan peraturan- peraturannya, kelembagaan hukum-hukumnya. lni tidak boleh, itu terlarang. lni najis, itu haram. lni maksiat, itu terkutuk. Seolah-olah orang yang beragama itu orang tolol yang mau dikurung dalam pagar-pagar larangan dan peraturan belaka; dan dia terpaksa mau begitu karena takut neraka atau pembalasan tak terduga dari suatu Tuhan yang kejam dan cemburu. Gambaran Tuhan sedemikian sebenarnya merendahkan Tuhan yang sebenarnya.

Tuhan Mahabesar dan tidak membutuhkan permainan adu gladiator atau adu jangkrik untuk gembira seperti tiran yang sempit jiwanya atau anak yang tidak terdidik. Tuhan menciptakan manusia dan seluruh semesta ini karena kasih sayang, karena meluaplah keagungan serta kecintaan-Nya. Bukan karena membutuhkan permainan keji. Bukan juga karena membutuhkan budak-budak seperti kaisar-kaisar yang hanya dapat kaya dan agung karena memperbudak jutaan kaula pekerja rodi untuk pembangunan istana baginya; dengan cambuk dan kebengisan mandor-mandor sadis. Tetapi di sini pun kita, manusia, sering terhela hanyut oleh egoisme kita sendiri, melalui jalan pintas peraturan-peraturan yang dikatakan datang dari Tuhan, akan tetapi bila diteliti lebih saksama secara obyektif, ternyata hanya bikinan manusia belaka. Apakah peraturan-peraturan dan hukum agama tidak perlu dan buruk? Tentulah tidak. Hukum-hukum agama berguna karena manusia sering tak tahu batas, lupa daratan, dan rabun pandangan. Karena itu ia membutuhkan semacam pagar tepi jurang atau rambu-rambu lalu lintas yang memberi peringatan dan mempermudah perjalanannya.

Jelaslah, rambu-rambu dan pagar jalan bukan tujuan, bukan yang menentukan segala-galanya. Rambu-rambu dan pagar berguna selama dipasang pada tempat- tempat yang tepat. Bukan di sembarang lokasi. Pagar yang berlebih-lebihan dan keliru penempatannya, dan yang tidak cocok fungsinya justru mengganggu bahkan membahayakan pemandangan. Bahkan mungkin sekali menjerumuskan. Oleh karena itu, anak-anak kita harus kita didik agar semakin mampu menempatkan peraturan serta hukum-hukum agama tepat pada fungsi serta nilainya. Tentulah secara bertahap bijaksana, tetapi tidak kurang tidak lebih. Sebab bagaimanapun agama bukanlah Tuhan. Agama dan Tuhan sama sekali tidak identik. Dan siapa menilai agama seperti Tuhan, dia pun menyeleweng dari pengakuannya: hanyalah Esa Tuhan, satu tunggal, tiada yang ada di samping-Nya. Agama hanyalah abdi atau sarana penolong, bukan tujuan. Maka di sinilah cita rasa religiositas kita berbicara. Sebab religiositas tetap mengakui agama selaku sarana dan abdi dan menghargainya. Namun religiositas lebih mengajak si anak (maupun orang tua) untuk lebih asli lebih sejati bersikap dan bertingkah laku di hadapan Tuhan. Religiositas menyentuh esensi, inti perkara, kedalaman jiwa, kendari tidak kelihatan langsung seperti pagar atau rambu-rambu. Akan tetapi dinamika perjalanan, energi yang mendorong kita mengarah secara benar ke arah tujuan ialah pengabdian dan kebaktian kepada Tuhan, amal jasa kepada sesama manusia, pembersihan diri dan perujukan seluruh semesta. Jelaslah lagi, betapa pentingnya kedua-duanya, agama dan religiositas, walaupun lain kedudukan serta fungsinya. Anak-anak langsung paham bila kita menanam gambaran Tuhan dan cita rasa religiositas yang bersendi pada kebaikan Tuhan, kepada keramahan dan kedekatan Tuhan; Tuhan Maha Pelindung, Tuhan Mahasetia. Tuhan yang menghendaki dan mendorong kesempurnaan diri kita.

Demikianlah anak menemukan kegembiraan yang mendalam, tanpa rasa terpaksa atau dibuat-buat, merdeka karena damai. Begitu kita mendidik bukan manusia budak, melainkan manusia merdeka sejati yang berkenan pada Tuhan. Sebab Tuhan bukan diktator atau majikan kejam. Kemerdekaan yang dimaksud bukanlah yang palsu seperti kebebasan liberal yang egoistis, individualis dasarnya, mau cuma yang disukai. Kemerdekaan yang benar datang dari keselarasan semesta raya; yang terberkati dan karenanya penuh syukur, ikhlas, beriman, dan pasrah sumarah kepada kerahiman Tuhan. Jadi tidak egoistis, tetapi terbuka terhadap orang lain, merangkul masyarakat; karena sadar bahwa kebahagiaan sejati harus meluap ke tengah masyarakat.

Sebaliknya juga kita pun hanya dapat berkembang dan bahagia berkat jasa sekian banyak orang dalam masyarakat kita. Dengan kata lain, anak-anak kita juga harus kita bina, agar mereka belajar merdeka dalam arti yang benar dan sejati. Biarlah mereka berkreasi dan mencari pengalaman. Janganlah kita menyuap mereka dengan indoktrinasi, tetapi bimbinglah mereka menemukan mana yang baik dan mana yang buruk; mengapa ini dilarang dan mengapa itu dianjurkan. Peraturan dan larangan bagi anak harus punya makna, punya alasan. Mereka harus dibantu menemukan motivasi mengapanya. Perlu pula dibina usaha menemukan batas-batas kemampuan suatu peraturan, sehingga orang akhirnya semakin sadar, bahwa manusia beruntung apabila ia berbuat baik, dan rugi sendiri bila berbuat jahat. Sehingga anak didik kita semakin yakin, bahwa kesukarelaan jauh lebih berharga daripada ketaatan buta, dan bahwa keikhlasan jauh lebih membahagiakan daripada kepatuhan yang mutlak tetapi tidak tahu apa alasannya.

Demikianlah mereka akan semakin memiliki jiwa religius yang jauh lebih membuat hati berdendang ria. Tidak akan lagi si anak merasa HARUS berbuat kebajikan atau DILARANG berbuat kejahatan. Taraf manusia religiusnya akan semakin tahu, bahwa berbuat baik adalah anugerah serta rahmat yang datang dari kesayangan Tuhan. Pastilah masih selalu perlu anak dilarang berbuat jahat, dianjurkan bersikap sopan, jangan nakal, dan sebagainya. Tetapi seandainya ada kesempatan tanpa rugi pun untuk berbuat jahat, anak-anak yang sekarang terlatih dan terdidik dalam sikap religius nanti tidak akan berselera lagi untuk mencuri atau bohong. Tidak akan dia kelak mau memperkosa gadis walaupun punya kesempatan. Bukan karena dia berjiwa baja, akan tetapi karena dalam dirinya sudah tertanam "logika", seorang gadis ada, tidak untuk dirusak, tetapi untuk disayangi, dihormati, dilindungi. Dan kebahagiaannya justru ada pada kegemaran menghormati, menyayangi, dan melindungi gadis-gadis. Dia kelak pasti masih tetap terangsang oleh gadis, tetapi rangsangan itu sudah terkerangka selaras dalam suatu sikap yang utuh tentang seks, kesatriaan, dan pandangan menyeluruh tentang macam-macam aspek kehidupan. Ia sudah "terlanjur" berpandangan luas dan utuh, tidak terkeping-keping kacau. Pendek kata, sehat.

Demikianlah anak yang terdidik religius secara benar akan menempatkan hukum agama dan peraturan- peraturan masyarakat dalam tempat dan fungsinya yang terintegrasi, utuh. Maka semakinlah ia berselera untuk lebih berbuat baik daripada mengawur dalam nafsu-nafsu tak teratur. Lebih tepat dikatakan nafsu-nafsunya sudah ia budayakan dalam kerangka fungsi-fungsinya yang sejati. Artinya: sesuai selaras dengan tata laksana kehidupan yang telah dibenihkan langsung oleh Tuhan sendiri ke dalam setiap manusia dan seluruh tata semesta sejak awal mula. Baginya nafsu lalu bukan lagi hanya sesuatu yang jahat, yang perlu dibekuk dan dikuasai, akan tetapi sebagian dari keseluruhan tata semesta yang baik dan indah karena berasal dari kearifan Allah al Khalik. Namun nafsu-nafsu harus didudukkan pada tempatnya yang asli, integrated, tepat dalam tata keseluruhan kerangka hidup manusia dan semesta alamo Dengan kata lain: anak sudah belajar semakin manusiawi. Tentulah si anak masih membutuhkan binaan untuk semua di atas itu secara bertahap dan pada tingkat pemahaman anak-anak. Akan tetapi di saat kanak-kanaklah awal pendidikan keutuhan diri manusia, keseimbangannya, dan keselarasannya.

3. Tuhan Bukan Pedagang Serakah

Dalam membina sikap religius anak, kita harus waspada juga, agar janganlah hendaknya kita, tanpa sadar tetapi ternyata faktual, memasukkan ide pada anak, bahwa Tuhan itu semacam pedagang yang serakah; yang seperti orang bisnis, minta jasa dulu sebelum membayar uang, minta prestasi dulu sebelum memberi pahala. Tuhan bukan tukang pembagi pahala seperti suatu panitia perlombaan memberi pahala. Tuhan dan manusia tidak berkedudukan dalam hubungan to give and to take. Kita tidak dalam posisi tawar-menawar seperti di pasar bila menghadapi Tuhan. Tuhan bukan pula sebentuk Lintah Darat Agung yang minta syarat bunga banyak dulu dari pemberian-pemberlan-Nya. Memanglah Tuhan menghukum orang yang jahat dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Tetapi tidak seperti dalam kalangan manusia. Semua itu kiasan, sebab di hadapan Tuhan kita tidak berarti apa-apa. Bila Tuhan memberi pahala, itu karena Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang. Dan bukan karena kita dan Tuhan joint venture secara hukum dagang. Dan bila kita mendapat pahala karena pernah berbuat baik, kita tidak boleh lupa, bahwa kebaikan kita pun sudahlah rahmat Tuhan. Bukan karena kita dari diri kita juara atau macam itu. Di hadapan Tuhan kita hanya dapat bersikap rendah diri, sederhana, dan tidak pada tempatnya kita menyombongkan kebaikan kita.

Oleh karena itu, sejak umur dini pagi anak-anak harus dididik, agar jangan bersikap dagang di hadapan Tuhan. Seperti misalnya, saya berpuasa begini dan beramal begitu, tetapi dengan syarat walau tak dikatakan: Tuhan harus membuat saya lulus ujian. Saya berdoa ini dan bersesaji itu, tetapi Tuhan harus memberikan gadis cantik atau lelaki kaya itu sebagai istri atau suami saya. Sudah sepantasnyalah dan sewajamyalah bila kita dan anak-anak diajari berdoa, dan apa jeleknya memohon sesuatu dari kemurahan Tuhan. Sebab memohon artinya mengakui kedinaan dan kemiskinan kita di hadapan Tuhan; memuja Tuhan sebagai Maha Pemilik semesta dan segala diriku. Akan tetapi memohon dan memohon banyak cara, motivasi dan sikapnya. Orang dapat memohon seperti pengemis yang memaksa-maksa. Orang dapat memohon cuma formal saja, akan tetapi pada dasarnya menuntut hak. Dan orang dapat memohon seperti kekasih memohonkan sesuatu dari yang dicintainya. Tanpa nada paksaan, tanpa diembel-embeli syarat-syarat, tanpa ancaman terselubung untuk membalas dendam atau lari bila tidak dipenuhi, dan sebagainya. Permohonan kita harus bening, murni dan jangan terdorong egoisme, atau karena malas lalu cari jalan pintas. Tidak sepantasnya kita memohon kepada Tuhan seperti pengemis, lebih jelek lagi seperti pengacara penuntut hak.

Sebelum kita mengungkapkan kebutuhan dan memohonnya, Tuhan Yang Mahabijaksana sudah tahu apa yang kita butuhkan. Bahkan Tuhan lebih tahu persis yang kita butuhkan. Tidak jarang nafsu ingin gengsi murah-murahan atau jalan pintas gampang-gampangan mencemari hati kita dalam doa permohonan, sehingga yang kita minta bukan yang benar-benar kita perlukan. Tuhan jauh lebih arif tiada bandingan mengenai apa yang sebenamya kita butuhkan. Oleh karena itu, bila kita berdoa dan memohon, hendaklah itu kita lakukan dengan segala kerendahan diri, dengan segala pengakuan kekurangan kita, kekeruhan kita. Kita mohon karena kita menghargai Tuhan, dan karena kita ingin menyatakan ketergantungan serta hormat sayang kita kepada Tuhan.

Hal-hal itulah yang harus kita tanamkan pada anak-anak kita. Sebab anak-anak kita kelak akan mengalami banyak peristiwa hidup yang membutuhkan pengisian formulir permohonan ini-itu, permohonan anggaran biaya suatu proyek atau permohonan macam-macam kredit, dan sebagainya. Dalam iklim bisnis dan birokrasi semacam itu, hendaklah anak-anak kita sudah terdidik matang untuk memandang kepada Tuhan tidak selaku The Greatest Big Businessman, bahkan sebagai Birokrat Agung, tetapi selaku Tuhan Yang Mahaarif, Yang Maha Memperhatikan suka-duka si anak dan manusia dewasa. Si anak kelak boleh tumbuh sebagai manajer bisnis yang ulung, akan tetapi dia harus tahu, terhadap siapa dia tidak boleh bersikap bisnis dagang. Misalnya menghadapi kaum miskin, atau yang lemah modal kepandaiannya, menghadapi yang buta huruf, pendeknya yang sangat terbatas kesempatan-kesempatan mencari nafkahnya, menghadapi para penderita sakit, kaum sederhana yang mudah sekali terjerat oleh pasal-pasal persyaratan perdagangan, dan sebagainya.

Si anak harus mulai belajar sangat pagi bahwa sikapnya kepada orang-orang tidak boleh secara pukul rata. Dia harus tabu, kapan ia berhadapan dengan orang yang seimbang kekuatannya, kepandaiannya, kemampuan, dan kesempatannya, dan ia harus tahu melunakkan sikap bila sedang berhadapan dengan orang yang tidak sepantasnya ia perlakukan sebagai lawan yang seimbang. Ia harus belajar bersua secara benar terhadap kawan lemah yang perlu ditolong dan dilindungi. Sebab Tuhan pun juga tidak bersikap seperti orang komunis fanatik, sama rata sama rasa. Tuhan sangat mengindahkan skala kemampuan dan keterbatasan manusia satu per satu. Dan tidak pernah Tuhan bersikap seperti seorang pedagang kepada manusia. Ia Maha Pemurah dan Pengasih.

Apakah itu berarti bahwa kita harus mendidik anak agar ia tidak perlu lagi memusingkan prestasi? Cita-cita tinggi dan perencanaan hati mulia untuk meraih sebentuk kejuaraan dalam bidang-bidang tertentu? Di kampus ilmu misalnya? Atau di gelanggang politik atau perdagangan? Tentulah, si anak harus kita bimbing agar mendapatkan keunggulan untuk bercita-cita setinggi mungkin. Namun melatihnya juga untuk melihat keterbatasan khasnya. Anak harus dilatih untuk berjasa, untuk bangga berprestasi, tetapi sportif. Dalam sport pun si anak harus tahu, bahwa yang penting dalam sport bukan kemenangannya itulah, tetapi CARA-nya sampai ia bisa menang dengan halal, secara ksatria, elegan, dan indah. Keindahan permainan itulah yang jauh Lebih berharga daripada angka-angka kemenangan. Maka pendidikan untuk dapat bersikap sportif, bersikap ksatria sangat penting bagi cita rasa religius. Sportif artinya, berusaha mati-matian untuk menang, tetapi menang tidak dengan menghalalkan segala cara sampai yang buruk pun, tetapi halal sesuai dengan aturan permainan, tidak curang dan karena itu membanggakan.

Tetapi sportif berarti juga rela dalam kekalahan. Sebab, dalam sport rela kalah berarti menghargai lawan sebagai kawan, menghargai yang pantas dihargai. Berikhtiar sekuat tenaga untuk menang pun adalah sebentuk penghargaan kepada lawan: memberi kesempatan untuk menunjukkan keunggulan lawan. Demikianlah dalam sport pada hakikatnya tidak ada pihak yang menang ataupun kalah dalam arti dangkal, tetapi semua pihak menang. Yang satu menang karena unggul, dan pihak yang lain menang karena menunjukkan jiwa mulia yang senang kawannya maju. Anak-anak harus sangat pagi dibina untuk menghayati sikap sportif yang baik. Jiwa religius sangat erat hubungannya dengan jiwa sportif, jiwa ksatria, jiwa penaung kepada si lemah, pelindung kehidupan, pemberantas kecurangan, dan sebagainya. Sebab Tuhan tidak berkenan pada segala yang bersifat merusak dan ourang. Tuhan adalah Tuhan kehidupan, keadilan, kedamaian.

4. Tuhan Bukan Pemimpin Partai atau Golongan

Sejak umur dini pagi pula anak-anak harus kita ingatkan, bahwa Tuhan bukan semacam ketua partai politik atau pemimpin golongan yang ngotot menghela orang-orang sebanyak mungkin untuk masuk partainya. Seolah-olah Tuhan sangat tergantung pada jumlah penganutnya untuk dapat menang. Tuhan tidak sangat mabuk kuantitas seperti seorang pemimpin golongan atau partai. Sebab kemenangan dan kejayaan SUDAH dalam tangan Tuhan. Kamus kalah-menang tidak terdapat dalam Tuhan dan jiwa religius juga tidak sangat terpukau oleh jumlah dan massa besar yang hanya dapat ikut-ikutan dan berkaok-kaok.

Manusia religius sangat bahagia bila pematuh perintah Tuhan berjumlah banyak, dan ia ikut prihatin bila hanya sedikit yang setia dan takwa. Akan tetapi manusia religius lebih percaya pada kualitas. Non multa sed multum, begitu petuah antik bangsa Romawi dan Yunani. Artinya: bukan yang banyak, tetapi yang berbobot. Dan memanglah kita melihat bahwa semua gerakan besar bangsa manusia selalu dirintis oleh kelompok kecil orang yang berkualitas. Pemberantasan sakit tifus atau malaria dimulai oleh satu orang peneliti atau tim yang terdiri dari hanya beberapa orang yang menyelidiki dan menemukan obatnya yang tepat. Begitulah pemberantasan wahab penyakit hanya mungkin diatasi secara massal apabila ada satu atau beberapa manusia perintis yang berkualitas tinggi memulai suatu gerakan penyembuhan atau pembaruan. Kita tidak perlu meremehkan segi kuantitas. Tetapi dinamika yang menghidupkan dan kreativitas yang menyegarkan segala-gala selalu datang dari unsur kualitas. Maka hendaklah anak-anak kita latih pagi-pagi untuk lebih menghargai kualitas daripada kuantitas. Bukan jumlah cetakan gol yang penting, tetapi keindahan tendangan dan kerja sama yang rapi dan luweslah yang menentukan kebagusan permainan serta kebanggaan suatu kesebelasan. Kemenangan yang dicapai dengan main kasar dan curang bukan sport tetapi pengulangan hukum-hukum rimba belaka. Anak-anak pantas diberi tahu misalnya bahwa yang penting bukanlah banyaknya buku yang dibaca, tetapi kedalaman membaca buku yang berkualitaslah. Itu yang mencerdaskan anak. Dan akhirnyalah nanti si anak akan berselera menghargai kualitas hidup, lebih daripaqa kekayaan materiil atau penghormatan fana. Maka pada pondasi selera mencari serta menghargai kualitas itulah, hidup religius menemukan sendi-sendinya yang kuat.

Begitulah ia dengan sendirinya tidak akan suka menjadi manusia massa yang dungu serba ikut-ikutan dan membeo. Ia akan lebih mudah mencari dan menemukan kepribadiannya sendiri. Maka akan lebih dekatlah ia kepada wilayah-wilayah kehidupan yang lebih bersifat religius, sebab religiositas mempunyai ciri, berdiri di atas keyakinan pribadi. Manusia massa serba ikut-ikutan dan yang bisanya hanya menyontek dan membeo tidak akan mungkin menemukan religiositasnya. Barangkali dia menjadi pemeluk agama yang fanatik, tetapi mendalam religiositasnya tidaklah mungkin. Sebab salah satu ciri dari manusia religius justrulah, dia bukan orang fanatik. Fanatisme menunjukkan kesempitan cakrawala dan kebodohan. Manusia fanatik mengira bahwa dunia hanya bagus bila hanya ada satu jenis pohon, yakni pohon yang ia sukai. Orang fanatik paling suka pada pakaian seragam dan langkah-langkah barisan yang seirama di bawah satu komando. Dia nekad mati, demi cita-cita yang baik tetapi juga yang jahat.

Manusia religius tidak fanatik, karena sadar tentang keterbatasan manusia. Karena dia tahu bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang selalu benar serta menguasai semua sudut galaksi. Manusia religius mencari kebenaran dan mengajak kawan menikmati kebenaran yang ia temukan secara yakin dan jujur. Tetapi ia menghargai kawan dalam kemerdekaannya untuk memilih dan menentukan sendiri jalan hidupnya. Sebab ia sendiri sadar, betapa indah dan berharga kemerdekaan sejati manusia. Anak-anak kita pun harus kita ajak jangan fanatik. Untuk toleran dan menghargai kenyataan, bahwa kawannya lain dari dia. Anak-anak dapat mulai belajar, betapa indahnya dunia yang memiliki sekian warna bunga dan jenis pohon serta perdu.

Ia dapat dilatih menghargai kombinasi warna, harmoni nada-nada yang berlainan, saling menyumbang membentuk melodi yang indah, tanpa kebilangan identitas diri. Dari musik merdu, dari apresiasi lukisan yang bagus, dari tamasya di ladang pegunungan, si anak dapat belajar bahwa berwujud lain tidak harus berarti berwujud jelek, bahwa suara dan lagu lain tidak harus berarti lagu tidak bagus, dan bahwa pendapat lain tidak harus dinilai sebagai pendapat yang bermusuhan. Dengan demikian ia semakin menghayati, bahwa kerukunan dan saling menghargai perihal agama merupakan kualitas kehidupan juga yang bernilai tinggi. Maka kelak, sesudah masa puber ia akan lebih mudah untuk mengatasi egoisme kelompok, egoisme golongan atau partai. Baik juga ia sering merenungkan, betapa arif semboyan bangsa Indonesia: "Bhinneka Tunggal Ika".

Maka pendidikan ke arah religiositas akan merupakan pendidikan menuju ke kedamaian, kerukunan, dan kegembiraan batin yang benar-benar awet. Maka sikap religius anak akan tumbuh menjadi dewasa yang semakin hari semakin arif. Maka bila kelak ia sudah tumbuh dewasa, tak terasa akan mendalamlah keharuan hatinya, betapa Mahaagung, Mahakuasa, dan betapa Mabamurah lagi Pengasih Tuhan itu. Maka secara tak terasa pula, tetapi spontan dan riil, si anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang berpemandangan luas juga, laras, dan perintis perdamaian bangsa serta perdamaian dunia yang saat ini masih dicemari kebencian dan persaingan kotor. Dan semogalah anak-anak kita kelak lalu merasa terpanggil untuk menyumbang hal positif bagi pembaruan perilaku dan hubungan antara bangsa yang lebih baik. Jika hal-hal di atas kita tanamkan sejak dini pada si anak, maka harapan mengenai dunia baru yang lebih baik bukanlah suatu impian belaka, tetapi realisme sehat. Sebab kenang-kenangan indah di masa kanak-kanak biasanya sangat sulit terhapus dan secara sadar atau tidak sadar memberi dampak yang tidak sedikit pada kehidupan si anak untuk menjadi dewasa.

5. Tuban Bukan Tukang Sulap Agung

Kita janganlah mendidik anak untuk menganggap Tuhan sebagai semacam Tukang Sulap Agung atau Mahatukang Tambal yang dengan honorarium secukupnya diharapkan membuat pertunjukan mukjijat-mukjijat yang gegap-gempita. Seperti misalnya dianggap sebagai Penyembuhan ajaib, Penolong ulung memperoleh keuntungan perdagangan, Calo yang paling kuasa untuk meraih calon suami atau istri yang rewel tidak mau diajak asmara; Mahatukang Tambal untuk kekurangan-kekurangan prestasi belajar anak malas dalam menghadapi ujian, Maha Penyihir di lapangan badminton yang dimohon berat sebelah memenangkan regu Indonesia dalam pertandingan internasional; Maha Politikus lihai yang diharapkan memenangkan partai atau golongan politik yang kita sukai dalam pemilu; dan macam-macam harapan cengeng yang sebenarnya merendahkan derajat Tuhan.

Tuhan Mahaagung! Mahakuasa! Mahaadil! Mahabijaksana! Bagaimana mungkin Tuhan kita harapkan menjadi wasit yang curang, atau calo yang memperkosa kehendak gadis, disuruh menjadi tukang tambal kemalasan anak manja. Tidak sepantasnya Tuhan kita rendahkan sampai sekian. Jiwa religius kita memberontak melihat perlakuan terhadap Tuhan yang serendah itu. Tuhan kasih sayang kepada semua pihak manusia, dan bukanlah sifat Tuhan untuk memanjakan orang yang hanya suka jalan pintas karena malasnya yang tak ketolongan, tahayul. Apakah sebenarnya arti TAHAYUL? MAGIS? SIHIR? Dalam tahayul, magis, atau sihir, secara sengaja atau tidak sengaja diandaikan bahwa Tuhan dan kekuatan-kekuatan Ilahi dapat kita setir, bahkan boleh kita peralat. Dalam praktek magis-tahayul, Tuhan ingin kita programkan menurut model yang kita senangi. Sangat dini si anak harus kita jauhkan dari pengaruh mental tahayul, sihir, magis, guna-guna, dan sebagainya. Memanglah, anak-anak suka pada dongeng-dongeng fantastis dan lakon-lakon di mana kekuatan sihir berbuat hal-hal yang mengherankan, apa lagi bila sihir mengalahkan yang buruk dan memenangkan pihak yang baik. Hampir semua dongeng kanak-kanak memiliki unsur daya sihir. Akan tetapi di sini kita harus membedakan lakon berunsur sihir yang sehat, artinya yang memang sesuai dengan psikologi normal setiap anak, dan di pihak lain, cerita sihir yang merusak, yang mengajak anak untuk suka jalan pintas tanpa usaha yang memadai. Sihir dalam dongeng yang sehat pada intinya berfungsi menggugah daya imajinasi si anak. Selain itu ia menjawab dambaan anak-anak untuk menghayati dunia secara puisi. Artinya penuh pukauan, perasaan halus yang mengiringi anak dalam rasa kagumnya pada segala yang ia jumpai. Anak menghendaki jawaban atas banyak pertanyaannya, dan imajinasinya adalah modal kemampuan untuk berabstraksi dari segala yang riil bugil tidak menyedapkan dan merugikan perkembangannya.

Anak selalu hidup dalam ruang antara realita dan impian. Sebab dia belum berpikir teknis dan fungsional. Pohon baginya bukan nomor satu benda yang membuahkan kelapa, untuk dimasak di dapur, tetapi putri-putri ramping yang terkena sihir dan kini tak jera melambai-lambai ingin ikut perahu-perahu layar menuju ke negeri-negeri yang jauh. Sebab si anak sendiri ingin juga melihat dan menyelidiki daerah-daerah yang jauh baginya penuh pesona pertanyaan, tetapi terlarang oleh ayah-ibu. Daya sihir dalam dongeng yang baik pada hakikatnya suatu ekspresi dambaan anak-anak untuk memperoleh jawaban yang menggembirakan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terlalu sulit baginya. Daya sihir baginya bukan suatu gerakan akrobat yang aneh dan mustahil, bukan suatu jalan pintas seperti yang ada pada kaum dewasa, tetapi sesuatu yang sangat normal. Sebab bagi anak, seluruh semesta ini adalah perkara tunggal dan saling membaur. Kancil dapat berbicara dengan buaya, dan ikan dapat saja mempunyai tubuh gadis cantik. Burung-burung bagi si anak dapat ditunggangi untuk mengantarkannya ke negeri antah berantah. Seorang raksasa yang kejam dapat saja diselesaikan kelalimannya menjadi seonggokan cadas di lereng gunung. Dunia di angkasa, di bawah tanah, di tengah ladang, dan di sungai, semua itu masih merupakan totalitas yang bersatu padu. Maka gerak sihir hanyalah gerak biasa saja dalam alam setengah riil setengah impian dari anak-anak.

Tetapi ada komik-komik seperti superman, batman, spiderman, dan sebagainya yang sebetulnya tidak, diperuntukkan bagi anak-anak, tetapi pemuasan nafsu-nafsu rendah kaum tua yang haus iseng. Di situ bukan imajinasi sehat dan fantasi kreatif yang berbicara, tetapi pemuasan nafsu sadis dan seks; bukan ibarat danau beriak-riak murni yang mengajak si anak untuk mencari dan bertanya penuh takjub, akan tetapi keranjang sampah kebak mental penguasa. Soal-soal tetek-bengek yang tanpa arti diselesaikan dengan mekanisme jalan pintas oleh kaum super, orang kelelawar yang secara gampang-gampangan menguasai situasi hanya karena dia berotot kuat,jagoan, dan sebagainya. Di dalam dunia wayang, ketoprak, dan komik-komik picisan pun kita melihat banyak lakon yang berkisar pada suatu jimat atau pusaka gaib yang serba jaya. Lakon-lakon itu kurang menguntungkan bagi pendidikan anak-anak kita. Sebab yang dipertaruhkan di situ biasanya hanya soal perebutan kekuasaan kerajaan, perebutan putri ayu, dan paling pol sebentuk patriotisme murah yang tidak mendidik si anak untuk berjuang dengan tekun, rajin, penuh dedikasi, selangkah demi selangkah, yang diandalkan ialah pertolongan jimat atau keris pusaka dan sebagainya. Lagi jalan pintas dan mental: siapa punya otot dan jimat magis dialah jago yang kuasa. Tetapi memang, dari awal mulanya, wayang dan ketoprak diperuntukkan primer untuk kaum tua. Anak hendaklah dididik jangan mencari kekuasaan, tetapi kebaikan.

Kita harus berhati-hati dalam goal dongeng anak-anak, karena banyak buku dikomersialkan tidak atas dasar pendidikan, tetapi atas dasar kejutan-kejutan gegap-gempita yang secara gampang ingin mengeruk uang. Bacaan semacam itu tidak mendukung jiwa religius yang wajar. Religiositas tidak mengandalkan diri atas dasar senjata ampuh atau kekuasaan politik belaka. Apalagi bila semangat yang tercitra di situ bukanlah suatu pendidikan untuk mencari kualitas, kejujuran, dan kedalaman jiwa, tetapi hanya menghasut agar anak dibiarkan bekerja acak-acakan, main kuasa. Tuhan bukan Tukang Sihir Agung. Tuhan adalah Tuhan Yang Mahaarif, yang memberi kesempatan dan bakat pada anak sebagai modal belajar, bermain, bekerja dengan baik. Segala sesuatu telah ditata oleh Tuhan sebaik mungkin. Tinggal kita sendirilah mau apa. Merusak tata semesta Tuhan itu, ataukah memakainya secara baik, sesuai dengan keselarasan asli yang sudah ditanamkan Tuhan dalam dunia dan hidup manusia.

Untuk itu kita harus berani melatih diri, bertanya, membuka hati. Anak sepantasnya kerap kagum dan bertanya. Janganlah hendaknya rasa kagum dan dorongan bertanya itu kita kecewakan. Sebab anak yang bertanya artinya anak yang terbuka jiwanya, yang senang bila diisi pengertian dan pengartian. Dan justru itulah prasyarat serta ciri-ciri jiwa yang religius.

6. Citra Anak tentang Tuhan Datang dari Orang yang Ia Percayai

Dari yang telah kita pertimbangkan di halaman-halaman terdahulu, semakin jelaslah bahwa pendidikan religius anak-anak melangkah dari dua fase yang pokok. Pertama, fase mematangkan cita rasa religiositas si orang tua, kakak, wali, guru, atau mereka yang mendidik anak secara dekat. Dan fase kedua, bagaimana kepenuhan religius si pendidik itu ditanamkan pada anak. Jalannya kita sudah tahu. Melalui dialog dalam arti seluas-luasnya dan dalam kesinambungan terus-menerus melalui peristiwa-peristiwa sehari-hari. Baik secara implisit dalam penghayatan spontan kehidupan itu, maupun eksplisit berupa kata-kata petuah, nasihat, informasi, dan percakapan-percakapan pembinaan lain. Tidaklah sulit dipahami bahwa jalan eksplisit bagi anak jatuh pada nomor dua, karena anak belum sampai pada fase pemahaman rasional abstrak. Jalan-jalan, perasaan, intuisi, perabaan, dugaan, dan penghayatan emosional lebih ia pahami. Namun itu tidak berarti, segi rasional asing bagi si anak. Hanya belum berkembang penuh.

Si anak belum sadar tentang subyek-obyek dan keseluruhan semesta, dan kehidupan bagi dia ibarat laut tanpa batas. Pada suatu ketika si anak dapat menghayati diri sebagai ikan dan pada saat lain ia sebatang pohon mangga. Boneka baginya sungguh-sungguh anak yang hidup, dan bila anjingnya tergilas mobil si anak benar-benar dapat menangis tersedu-sedu seperti kehilangan adiknya. Tuhan dalam bayangan si anak pasti digambarkan seperti manusia (antropomorfisme) yang pintar dan tabu apa saja, kaya, baik hati, pelindung; barangkali seperti nenek yang ramah atau kepala sekolah yang sering memberinya gula-gula. Dan jangan terkejut bila tiba-tiba si anak menggambarkan Tuhan sebagai awan-awan putih, hanya karena ia sedang gandrung terpesona pada awan-awan putih itu yang lucu dan menanam rasa damai. Jika iabertanya, "siapa yang memasang bintang-bintang cemerlang itu di langit?" dan ibunya menjawab: "Tuhan", maka jawaban itu biasanya memuaskan, sebab pasti ada seseORANG yang menggantungkan lampu-lampu kecil itu di angkasa. Dan bila ia masih bertanya terus: "Tuhan rumahnya di mana?" Lalu ibunya menjawab tenang: "di surga", maka barangkali si anak masih bertanya terus, "surga itu di mana?" Akan tetapi selanjutnya dia toh akan puas dengan jawaban: “Oh, jauh di atas sana". Yang penting bagi anak hanyalah: segala-gala pasti ada keterangannya. Tinggal tanya pada ibu atau ayah; Cukuplah sementara.

Tetapi bila kita teliti lebih lanjut, kepuasan si anak bukan terletak pada "teori". Tuhan atau bukan Tuhan yang menyalakan bintang-bintang di langit, tetapi pada fakta bahwa si ibulah yang mengatakannya. Jadi benar. Sebab secara langsung dan praktis ia mengalami dan menghayati siapa si ibu itu. Sebab, siapa yang memberinya makan? Ibunya! Siapa yang memandikannya dan mengenakannya pakaian yang manis? Ibu! Siapa yang menggendongnya dan membawakan oleh- oleh? Ibu! Apakah si anak begitu saja akan percaya, seandainya yang memberi keterangan tadi bukan ibunya tetapi kawannya, seorang anak kecil juga di rumah tetangga? Atau Pak Lurah? Pasti tidak. Maka teranglah, bahwa si anak akan percaya pada apa saja yang dikatakan orang tentang Tuhan, asal orang itu baginya benar-benar orang terpercaya. Seperti si ibunya tadi.

7. Memurnikan Citra Tuhan

Maka baiklah kita menaruh perhatian pada fase pertama tadi, membuat matang dan dewasa cita rasa religius sang orang tua atau mereka yang paling dekat dan dipercaya oleh si anak. Bagaimana orang tua semakin mendalam dalam penghayatan religiusnya? Sehingga semakin murnilah citranya tentang Tuhan? Pastilah banyak faktor dan unsur yang ikut mempengaruhi dan membentuk cita rasa religius orang tua. Namun beberapa hal yang paling penting ingin kita kemukakan di bawah ini.

7.1 Usahakanlah agar kita semakin cinta kepada yang benar

Kecintaan pada yang benar, ketidaksukaan pada yang bohong, semu, dan munafik, itu semua akan membersihkan diri kita, memurnikan dan memerdekakan kita. lni penting, sebab jika ada sesuatu yang paling menusuk si anak, ialah, apabila kita membohongi dia. Kalau si anak dituduh sesuatu yang tidak ia lakukan, kalau kita mengingkari janji yang pernah kita berikan kepada si anak, kebohongan itu sangat menusuk hati si anak. Yang benar tidak selalu yang nikmat. Intan yang tidak palsu selalu sangat keras dan kebenaran biasanya terasa keras. Tetapi kebenaranlah yang memerdekakan kita dari segala beban kepalsuan dan gengsi yang tidak sehat. Kebenaran akan membeningkan pandangan, teristimewa terhadap anak didik kita.

Khususnya mengenai Tuhan, kita pun harus berusaha agar semakin benar juga. Artinya jujur. Benar dan jujur mengakui di muka anak kita sendiri bahwa kaum tua pun sering menjumpai hal-hal mengenai keTuhanan yang penuh misteri, yang tidak dapat kita ketahui. Tidak perlulah kita di muka anak sok berlagak tahu semuanya tentang Tuhan. Pengakuan semacam itu kelak akan vital untuk kebiasaan hari depan mereka. Juga nanti dia akan belajar bahwa tidak segala-galanya dapat diketahui manusia. Namun di dalam kegelapan ketidaktahuan itu kita masih dapat beriman, percaya bahwa Tuhan menuntun kita melalui kelemahan dan ketidaktahuan kita. Dengan begitu si anak akan ikut belajar juga menjadi manusia yang beriman, yang bahagia percaya kepada tuntunan Tuhan, walaupun sering kita tidak melihai secara rasional cara Tuhan menuntun kita. Sebab bagaimanapun, religiositas mengandaikan hati yang rendah hati, suasana jiwa yang tidak merasa sok tahu segala-galanya.

7.2 Hal yang kedua ialah, bahwa religiositas membutuhkan kepekaan terhadap pelambangan dan cita rasa puisi

Kepekaan lambang menyegarkan cita rasa dapat tersentuh lalu bertanya mendalam, kemudian mampu untuk kagum penuh syukur. Misalnya lautan. Laut secara obyektif fisik cuma air asin saja yang luas permukaannya. Tidak lebih dari itu. Tetapi manusia yang peka puisi dan yang (sederhana saja, normal) manusiawi akan terharu melihat lautan, melihat pemandangan yang luas dan indah. Laut baginya tidak hanya air asin yang banyak sekali, tetapi benar-benar mewahyukan suatu warta. Seolah-olah laut itu berbicara, menderu, dan memperingatkan manusia tentang sesuatu lain yang luas, yang tiada batasnya, yang abadi; yang menyimpan sesuatu yang belum tampak di balik cakrawala, namun yang akan tampak bagi mereka yang berani mengarungi ombak-ombaknya. Dan bila kita melihat perahu nelayan kecil yang terombang-ambing oleh ombak-ombak itu, namun toh selamat, maka manusia normal yang peka-lambang akan langsung terkena peringatan, bahwa semacam biduk kecil itulah perjalanan hidup manusia; harus mengarungi gelombang-gelombang bahaya. Namun selamat bila pengemudinya mahir; melaju pesat, bila layar-layarnya menerima rahmat angin. Apa yang mendorong biduk itu maju melaju? Sesuatu yang tidak kelihatan tetapi rill. Seperti rahmat Tuhan yang tak kelihatan juga, tetapi riil. Begitulah, melalui kepekaan terhadap lambang-lambang kita diperingatkan secara terselubung tetapi menyentuh, bahwa yang tidak tampak dan tidak dapat diukur secara fisik teknis belum tentulah tidak nyata. Dan sebagainya.

Semua benda dan peristiwa yang kita jumpai bagi jiwa yang religius selalu mengandung daya lambang. Gunung, sungai, pabon, bunga, kijang, padi di sawah, jalan raya, jembatan, kuali, pelita, gerobak, matahari; awan-awan, kupu-kupu, sepasang kakek-nenek, dari seterusnya.

Seluruh bahasa kita pun penuh lambang-lambang. Bukankah kita berkata: "Restuilah kami dalam perJALANan hidup kami. Kita harus menJEMBATANI PANDANGAN generasi tua dan ANGKATAN muda. Orang itu tahunya cuma berebutan KURSI belaka. Marilah kita meRANGKUL semua bangsa di dunia ini dalam persahabatan. Mengapa kau hanya TEROMBANG-AMBING saja MENGHAMBUR-HAMBURKAN waktu? Sayang hidupmu tanpa PEGANGAN, tanpa KOMPAS. Gerakan liar itu sudah saatnya diREM? Perusahaan tanpa KENDALl yang kuat akan berKEPING-KEPING hancur. Susah memang kalau orang sedang linglung terBAKAR asmara. Barangkali karena dia masih kurang MAKAN GARAM. Ah, jangan meLONCAT-LONCAT omonganmu. Peganglah GARIS pengarahan agar jangan SESAT dan kebilangan BENANG MERAHNYA."

Sesungguhnya, percakapan sehari-hari kita penuh dengan lambang-lambang, penuh dengan bahasa puisi.

Kepekaan terhadap lambang-lambang dan jiwa puisi itu janganlah hilang. Artinya, latihlah diri kita agar selalu mampu membaca warta terselubung dalam setiap benda atau peristiwa. Orang Jawa berkata, kita hendaknya tanggap ing sasmito (mampu menangkap tanda-tanda yang terselubung). Maka kita tetap akan peka terhadap keharuan berkat keindahan yang menggenangi kita dengan rasa syukur, tetapi juga yang membuat kita peka terhadap penderitaan serta macam-macam tragedi hidup manusia yang memanggil belas kasih kita. Sehingga melalui itu kita semakin manusiawi. Alat pemotret melihat dan merekam saat melalui lensa-lensanya dalam pita film seluloid. Mata manusia melihat juga, tetapi bukan mata yang sebenamya melihat, tetapi hati manusia. Lensa alat pemotret menangkap peristiwa hanya melulu secara teknis. Semua yang melewati lensa direkam, tanpa disaring subyektif. Asal masuk pasti direkam. Begitu juga mikrofon merekam semua bunyi yang masuk ke dalam pita. Teknis, dingin. Tetapi pada manusia, hati manusialah yang mendengarkan. Tidak semua bunyi didengarnya, tetapi hanya yang sudah diseleksi oleh suka dan tidak suka, oleh tafsiran. Secara manusiawi. Baginya laut bukan hanya laut. Sebuah foto bukan hanya rekaman gambar, tetapi kenangan kepada kekasih. Sebuah warung atau pohon tua dapat menghidupkan kembali riwayat-riwayat lama dalam nostalgia yang mencucurkan air mata. Sebuah lagu dapat membuatnya sedih dan sepucuk surat dapat memulihkan lagi daya hidupnya. Jiwa religius mampu membaca pewartaan dalam benda-benda dan peristiwa-peristiwa. Maka kemampuan tanggap ing sasmito dari kekayaan rohani para orang tua inilah yang perlu ditanamkan dalam hati si anak.

Perhatikan sajak-sajak kecil di bawah ini yang dikutip di sini tanpa seleksi saksama. Serba kebetulan saja terserak, ditemukan di meja penulis. Digubah oleh seorang siswa SD.

TUKANG BECAK

Setiap hari kau keliling kota
Tak mengenal lelah
Untuk mengantarkan seseorang
Yang mau bepergian

Terik matahari
Tak kau hiraukan sama sekali

Oh ... tukang becak
Kau bekerja untuk anak dan istrimu
Untuk memenuhi kebutuhanmu
Dan untuk hidup masa depan anakmu.

Dwi Astuti Kelas VI SD K Pugeran YOGYAKARTA
(Gatotkaca, no. 2, Th ke-15 20 Januari 1984)

Dwi Astuti melihat tukang becak. Tetapi bagi dia tukang becak bukan hanya tukang becak. Dia lebih dari itu, seorang ayah. Perhatikan loncatan dari gejala tukang becak biasa ke gagasan tingkat lebih tinggi, dia seorang ayah. Ayah yang bekerja. untuk istri dan anak-anaknya. Lebih jauh lagi: untuk masa depan anaknya. Walaupun tidak disebut jelas, tetapi jelas tersirat, Dwi Astuti melihat DI BALIK LAMBANG TUKANG BECAK ITU, AYAHNYA SENDIRI. Sebab siapa bilang tukang becak itu punya istri dan anak? Teranglah, dia mengidentifikasi tukang becak dengan ayahnya. Dan ia tersentuh haru. Secara implisit sajak sederhana yang tidak berpretensi seni sastra ini pada hakikatnya suatu doa. Paling tidak suatu percikan gagasan religius. Oh ... tukang becak! Dalam lubuk hatinya Dwi Astuti mengucapkan terima kasih kepada tukang becak yang bersusah-payah itu, bahwa dia begitu bertanggung jawab. Di tengah terik matahari, tukang becak (atau lebih tepat: ayah Dwi Astuti sendiri) berkorban untuk anaknya.

Kemampuan untuk iba hati bila melihat sesuatu benda atau peristiwa, kepekaan ikut merasakan jasa berkorban dari orang lain, kendati belum dikenalnya, kendati bukan ayahnya sendiri, bukankah itu keharuan yang berkadar religius? Sangat mungkin belum langsung menyentuh agama, tetapi jelas menyangkut kehidupan, perjuangan berat demi manusia-manusia tercinta, pengorbanan, ketekunan, kesetiaan dalam pemenuhan tanggung jawab, demi pelangsungan kehidupan, bukankah itu tema-tema religius yang asli? Kemauan dan kemampuan untuk dapat belarasa, ikut suka-duka dan solider dengan penderitaan orang lain walaupun masih dalam kalbu, itulah yang perlu kita lestarikan dan kita kembangkan dalam anak-anak. Religiositas yang telah mengejawantah dalam peristiwa sehari-hari, yang tidak spektakuler, yang sangat biasa, itulah yang membuat hidup di dunia ini berharga.

Sajak berikut ditulis oleh seorang siswa yang lebih tua sedikit, kelas I SMP.

KEHIDUPAN

Di malam hening tertegun merenung
Berteman bintang-bintang malam
Menghayati pahitnya kehidupan
Mengapa dunia penuh kepalsuan
Sedang derita yang selalu mencekam tiada berlalu
Mengapa kehidupan manusia beraneka ragam
Mungkin demikianlah raga, kehidupan

Robertus AM Kelas Ia SMP N Grabag MAGELANG
(Gatotkaca, no.2 Th. ke-15 20 Januari 1984)

Tema Robertus adalah tema anak dalam masa mulai puber. Yang masih anak, tetapi mulai dikonfrontasi dengan tema-tema kehidupan yang datang dari dunia dewasa. Malam hening, bintang-bintang di angkasa, kegelapan yang tidak gelap penuh, yang masih ada cahaya sedikit, tetapi toh kegelapan. Dan terlonjaklah pertanyaan yang jelas berkadar religius: betapa pahit kehidupan, mengapa dunia penuh kepalsuan? Mengapa derita mencekam dan tiada berlalu?

Barangkali Robertus sedang mengalami kesulitan di rumah, barangkali ada sesuatu yang terasa mengecewakan sekali dalam hatinya.

Robertus tidak menjawab pertanyaannya sendiri. Memang bukan itu sasarannya. Dan jelas, dia belum sanggup menemukan jawabannya. Tetapi sesuatu yang paling vital dan paling religius sudah ia lakukan: ia bertanya. Bukan bertanya pertanyaan matematika atau ilmu bumi, tetapi pertanyaan dasar kehidupan: mengapa harus ada hidup yang pahit? Penderitaan ... mengapa? Mengapa pula orang-orang itu berlainan? Beraneka ragam? Mungkin Robertus tidak berani mengatakan terang-terangan, akan tetapi siapa tahu dalam lubuk hatinya ia bertanya, mengapa ada orang yang bahagia, dilahirkan dalam situasi bahagia, sedangkan dia, ya beginilah nasibnya, pahit selagi masih anak? Dan ini: mengapa dunia penuh kepalsuan? Mengapa tidak dapat polos sederhana saja? Menjawab pertanyaan merupakan kepuasan yang tersendiri. Akan tetapi dalam kehidupan, khususnya hidup religius, pertanyaan-pertanyaan jauh lebih vital dan menentukan daripada jawaban-jawaban. Sebab kualitas manusia diukur dari pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.

Pendidikan anak-anak dalam segi religius akhirnya berkisar pada satu ini: sanggupkah kita membina anak, sehingga si anak mampu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan hidup yang benar dan secara benar? Paling tidak, dapatkah kita membina anak, sehingga si anak itu MAU untuk bertanya pertanyaan yang dalam?

Seorang anak yang lebih kecil tentulah masih suiit mengungkapkan diri dalam sajak atau kalimat-kalimat yang teratur. Akan tetapi si anak pun bergulat dengan banyak pertanyaan yang betul-betul mendalam. Yang paling ditanyakan anak pada tingkat awal ialah permintaan merasa aman, terlindung atau tidak. Apakah ada yang dapat ia andalkan? Kalau ia lapar, ia akan minta makan siapa? Kalau ke sekolah, minta uang sekolah dari siapa? Bagi si anak belum jelas hubungan antara uang sekolah dan hari depannya, selain dimarahi guru kalau tidak membayar. Tetapi bagi Dwi Astuti dan Robertus tadi pengertian itu sudah timbul.

Tahap demi tahap anak-anak belajar menghadapi tantangan-tantangan hidup. Tidak hanya pada segi fisik materiilnya saja, tetapi juga yang lebih menyentuh serat-serat yang lebih rumit dalam masalah mencari jalan kehidupan yang bermakna. Arti hidup, makna mengapa orang hidup, arti penderitaan, nilai kebebasan, makna kerja demi masa depan anak, tema-tema religius yang bermuara pada pertanyaan paling mendasar: hidupku dari mana dan ke mana? Melalui jalan mana? Siapa Tuhan? Tuhan dan aku, bagaimana itu hubungannya? Tuhan dalam kegelapan diriku? Tuhan yang tidak kelihatan, namun toh kelihatan bayangannya dalam lambang-lambang yang di mana pun terjumpai si anak yang semakin berkembang? Tuhan yang benar atau Tuhan bayanganku dan hantuku sendiri? Dan, seterusnya.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?